Erling Haaland ialah seorang remaja semangat; masih muda (19
tahun), tinggi besar, pelari kencang, pirang, serta diramal akan jadi striker
hebat di waktu tiba. Dia mendapatkan rumah di Sinyal Iduna Park, kandang
Borussia Dortmund, salah satunya club sepakbola yang pilih langkah bermain
paling semangat yang kita mengenal, dengan supporter paling semangat (serta
paling ribut) yang kita ketahui. Serta akhir minggu kemarin, Haaland serta
timnya hadapi Schalke, club tetangga Dortmund, yang sepanjang tahun mencipta
salah satunya derbi paling hebat di sepakbola dunia, Ruhr derby.
Haaland cetak gol pertama di laga yang usai 4-0 untuk
Dortmund itu, gol ke-10nya musim ini. Tetapi, kecuali langkah bermain Dortmund,
semua terlihat tidak sama. Haaland dapat serta biasa membuat semua stadion
bergetar bersama-sama tiap perayaan golnya, dengan raungan atau pukulan ke
udara atau cengkamannnya ke seragam rekanan yang memberikannya umpan. Hari itu
tidak demikian. Sesudah satu sontekan pembelok arah, gol ciri khas striker
dengan peletakan tempat hebat, dia lari mengarah bendera di pojok lapangan. Di
hari-hari lain dia kemungkinan melaju dengan lututnya, atau mungkin dengan
dadanya, atau mengambil tiang bendera serta mengibarkannya mengarah tribun,
meraung, menumpahkan adrenalinnya, serta semua rekanan segrupnya akan
mengerubutinya, menimbuninya, mencium ubun-ubunnya, atau serta melekatenginya
dengan gemas. Tetapi hari itu Haaland cuma berdiri dengan kikuk menghadap
mengarah teman-teman segrupnya yang akan mengerumuninya, dengan seorang dari
mereka memberikan aba-aba supaya jaga jarak darinya, lalu dia menari. Kaku
serta malu-malu, seolah dia bocah aneh yang diminta menyanyi di muka kelas.
Keceriaan itu jelas masih nampak, senyum bayinya mengembang, tetapi luapan
emosi benar-benar jelas kuat-kuat ditahan.
Barney Ronay di The Guardian menyebutkan situasi yang
berlangsung di Sinyal Iduna Park hari itu untuk "eerie silence",
kesunyian yang menakutkan; arti yang sedikit aneh, tetapi benar-benar dapat
diterima. Di stadion yang umum berisi 82 ribu orang itu, serta kesemuanya akan
meraung dengan cara bertepatan saat berlangsung gol untuk tuan-rumah, hari itu
cuma diisi seputar 300-an orang. Beberapa besarnya ialah pekerja stadion serta
petugas laga, termasuk juga didalamnya anak gawang yang sudah dikurangi separuh
dari jumlah biasa. Tidak ada pemirsa yang bisa masuk, tidak bisa berkerubung di
dekat stadion. Sebagian orang yang duduk di tribun di bangku yang berjauhan
ialah beberapa pemain pengganti ke-2 team, dengan selimut di kaki serta masker
di muka—mungkin beberapa salah satunya berasa mereka tidak semestinya ada
disana. Semua pekikan, bentrokan, keluh kesah, cacian tertangkap mikrofon di
tepi lapangan serta digemakan ke semua stadion—dan didengar pemirsa di muka tv.
(Itu mengapa cacian "Sana keloni nenekmu" dari bek Schalke Jean-Clair
Todibo ke Haaland jadi terdengar jelas.) Yang nampak semakin aneh lagi, selesai
laga, Haaland serta kawan-kawan segrupnya lakukan penghormatan mengarah tribun
kosong The Yellow Wall yang populer itu.
Tentunya, hal yang berlangsung di Sinyal Iduna Park
berlangsung di delapan stadion lain di Bundesliga Jerman minggu kemarin, yang
kembali lagi meneruskan Liga sesudah diminta libur yang tidak direncanakan
semasa dua bulan. Serta dia akan berlangsung di beberapa liga Eropa lain, yang
selekasnya mengejar minimal awal Juni—kecuali yang sudah mengatakan tutup buku
seperti di Prancis serta Belanda.
Beberapa orang mensyukuri kembalinya sepakbola, termasuk
juga saya. Tetapi, ada beberapa faksi , serta ini cukup banyak, yang berasa
jika sepakbola tanpa ada pemirsa bukan sepakbola. "Saya lebih bagus tidak
bermain sepakbola bila tidak ada yang melihat. Itu tidak logis," kata Pep
Guardiola baru saja ini. "Tidak ada yang semakin kosong dibandingkan satu
stadion yang kosong. Tidak ada yang semakin bisu dibandingkan tribun yang tanpa
ada pemirsa," catat Eduardo Galeano di bukunya yang mashur, Soccer in Sun
and Shadow. Pep serta Galeano bicara di serta untuk kerangka yang lain, tetapi
kedua-duanya saling mengutamakan jika stadion serta pemirsa ialah sisi yang
tidak dapat diambil serta dipisah dari sepakbola.
"Kuil Beberapa Dewa yang Mencapai Bumi," demikian
Christopher Thomas Gaffney memberikan judul studinya mengenai stadion-stadion
di Brazil serta Argentina. Tetapi ini dapat juga dilekatkan pada sepakbola
Eropa Barat yang punyai adat teras yang kuat, seperti di Inggris serta Jerman.
Seperti digemakan oleh kalimat Galeano, Gaffney merasakan jika tetap ada
dimensi ilahiah pada rekanan di antara stadion, pemirsa, serta pemain. Serta tv
bukanlah tidak tahu itu.
Dalam langkah pandang industri tv, kedatangan pemirsa di
stadion, keributan yang mereka buat, atmosfer yang diakibatkan oleh nyanyian
pujian, dengusan sedih, cacian geram, tangisan kalah, ialah sisi integral dari
tontonan yang mereka jual. Oleh karena itu mereka menempatkan beberapa ratus
mikrofon yang menghadap ke tribun pemirsa, serta terakhir menerbangkan camera
di atas stadion. Walau berbuih-buih bicara mengenai nilai-nilai sportivitas,
mengakhiri pertandingan untuk sisi dari moralitas ksatria, ketetapan untuk
selalu meneruskan Liga di sejumlah negara jelas didorong oleh fakta ekonomi:
tim-tim perlu hidup, upah pemain serta karyawan club harus dibayar,
dan—terutama—televisi tidak ingin begitu rugi.
Tetapi, tentunya, tidak saja tv kehilangan beberapa pesona
jualannya. Stadion yang tanpa ada pemirsa membuat pemain di atas lapangan
kehilangan pemujanya. Serta "beberapa orang yang memelototi satu
tabung" (demikian Nick Hornby, novelis sekaligus juga supporter Arsenal,
mencibir beberapa pemirsa tv) kehilangan sejumlah besar drama.
Serta pada umumnya, sepakbola kehilangan beberapa citarasa
perayaannya.
Walau kemungkinan dipandang ofensif oleh beberapa
skripturalis, yang memandang Islam (serta segala hal yang dapat dikaitkan
dengannya) untuk "ya'lu wala yu'la", sesaat beberapa esoteris yang
tetap punyai rincian panjang serta jelimet mengenai apa saja berkait agama
kemungkinan menganggap reduksionis, saya dengan benar-benar gampang
menyambungkan sepakbola serta Hari Raya. Lebih-lebih di waktu epidemi ini.
Sebelum keterhubungan itu saya terangkan, saya harus katakan
jika saya bukan fans berat Hari Raya—setidaknya bila kita bicara mengenai
"apa yang umum berlangsung" serta "bukan apakah yang semestinya
berlangsung". Semua bocah akan menanti Hari Raya selanjutnya demikian Hari
Raya usai, saya demikian. Tetapi, seingat saya, tidak kebanyakan hal hebat yang
berlangsung pada saya pada hari spesial ini. Hari Raya seringkali berasa untuk
acara pesta seseorang yang perlu saya turuti. Saya terkadang turut suka.
Tetapi, bila tidak, saya ketahui saya cuma ikutan.
Pakaian baru, jajan serta penganan melimpah, tamu yang
berduyun, jelas itu membahagiakan untuk bocah yang tumbuh di keluarga miskin
seperti saya—selain tentunya jalanan yang ramai, serta satu bulan penuh puasa
yang pada akhirnya selesai. Tetapi, terkadang itu tidak sebanding dengan
muntaber hebat yang seringkali saya alami, minimal di umur di antara 9
hingga12, umumnya sebab keracunan makanan. Serta walau saya akan suka dibawa ke
beberapa rumah lain dengan jajan yang semakin enak, atau ke sanak famili di
desa yang jauh (serta umumnya semakin kaya), saya sejak dahulu sering jadi yang
sangat tidak ketertarikan untuk "bersilaturrahmi". Serta, seringkali,
dari malas menjadi siksaan bila ibu saya, seorang yang terkenal, dengan saudara
serta rekan bersebaran dimana saja, mulai sedikit memaksakan.
Lebaran di saat-saat remaja jelas semakin berat. Bapak tidak
berada di di antara kami, hingga saya dalam satu-dua hal perlu ambil peranan
tradisionilnya: berkunjung ke famili yang tidak begitu saya mengenal,
menyongsong tamu yang asing, atau beberapa hal seperti itu. Itu tidak
membahagiakan. Bukan karena hanya saya berasa masih begitu muda untuk
melakukan, dan juga sebab saya berasa telah lumayan besar untuk lakukan hal
yang semestinya dilaksanakan beberapa remaja di Hari Raya.
Tidak tiap tahun berlangsung, tetapi beberapa Hari Raya
paling tidak membahagiakan, sepi, terlewatkan, serta patut dilalaikan,
berlangsung diakhir umur belasan serta awal 20-an. Tidak ada ke-2 orang-tua di
dalam rumah, serta dalam beberapa peluang tidak ada apakah juga di dalam rumah.
Telephone di wartel yang melelahkan serta tidak sebanding, tangisan serta
kiriman tidak penting, serta beberapa hal tidak enak lainnya, sering memualkan
serta habiskan energi serta emosi. Hari-hari Raya lain yang semakin komplet
serta lebih membahagiakan terkadang tidak menyembuhkan cedera yang
ditinggalkannya.
Tetapi, tentunya, semuanya tidak langsung membuat Hari Raya
tidak saya kangenin. Dari sono-nya, ini ialah hari untuk senang, berbahagia;
saya meyakini itu serta susah menyanggahnya. Kepulangan-kepulangan mendekati
Hari Raya atau di hari-hari paling akhir Ramadan ialah kepulangan-kepulangan
paling ketertarikan antara yang datar serta dilaksanakan dengan malas. Saya
sudah tinggalkan kampung halaman semenjak umur 15, serta saya merasakan—hakul
percaya merasakan—apa yang juta-an orang Indonesia rasakan saat mudik. Semasa
berpuluh tahun, beberapa orang mempertaruhkan uang serta tenaga, serta nyawa,
untuk dapat pulang jelas tidak semata-mata sebab keharusan, serta memang itu
yang berlangsung. Sebelum kebahagian di Hari Raya datang, kebahagian lain (yang
terkadang terasa semakin besar) ialah kembali lagi ada di kampung kelahiran.
Serta kedua-duanya jelas bertalian.
Bergabung dengan keluarga besar di Hari Raya ada saatnya
jadi neraka yang ada satu tahun sekali. Tetapi, tidak dimungkiri, antara itu
tersisip kesenangan serta kebahagiaan yang teringat sampai sekian tahun
selanjutnya. Iklan-iklan panjang dari produsen sirup serta bank serta rokok
mengenai Hari Raya seringkali ngibul serta melebih-lebihkan, tetapi dalam
banyak hal mereka memang betul.
Tidak ada Hari Raya yang prima. Tentu. Tetapi mengapa kita
terus kangen untuk merayakannya—sebagian dengan tempuh jarak beberapa ratus
kilo, kuras beberapa (besar) tabungan, tempuh beberapa efek? Kemungkinan sebab
kita terus cari Hari Raya yang prima itu.
Saya belum memperolehnya—Hari Raya yang prima itu. Serta
kemungkinan tidak akan memperolehnya. Tetapi, bila saya perlu alami yang sangat
jelek salah satunya, dalam banyak peluang, seperti dalam banyak hal, sepakbola
umumnya selamatkan saya.
Pada suatu Hari Raya, saya dibawa Bapak berkunjung ke famili
jauh namanya Paman Sam. Dia seorang juragan perahu dalam suatu desa nelayan.
Tempat tinggalnya besar serta perabotannya eksklusif. Satu tv besar berada di
tengahnya ruangan tamunya. Di dalam rumah besar itu, untuk kali pertamanya,
saya melihat tv berwarna. Kebetulan, itu ialah satu siaran secara langsung laga
sepakbola. Jepang musuh Indonesia.
Laga usai jelek untuk Indonesia. Kita dihajar 5-0 oleh
Jepang yang saat itu masih amatiran. Lapangan serta cuaca nampak pucat serta
kuyu. Beberapa pemain Indonesia menggigil kedinginan serta alami flu, demikian
pengamat TVRI memberitahukan. Ricky Yakobi serta Robby Darwis tidak
henti-hentinya mengusap hidungnya yang meler. Saya tidak ingat itu tahun
berapakah. (Bila video di Youtube serta data Wikipedia betul, peluang itu
berlangsung pada tengah Juni 1989, dalam laga Kwalifikasi Piala Dunia 1990
Group 6.) Tetapi begitu saya dapat mengingat momen itu—mungkin salah satunya
momen melihat paling jelas yang dapat saya ingat—sampai saat ini, saya ketahui
itu ialah pengalaman melihat yang mengagumkan.
Walau dihitung dalam skema penanggalan tidak sama, Hari Raya
hampir tidak dapat melepas diri dari sepakbola, minimal semenjak tv Indonesia
menyiarkan dengan teratur beberapa liga besar Eropa. Bila Puasa jatuh bersamaan
dengan musim panas Eropa, hampir dinyatakan dia akan beririsan dengan Piala
Dunia atau Piala Eropa, yang diadakan (dengan cara selang-seling) 2 tahun
sekali. Apabila Puasa jatuh di luar bulan di antara Mei serta Agustus, karena
itu tentunya beberapa liga masih berjalan. Beberapa penceramah Tarawih pembenci
sepakbola bisa jadi dengan berkobar-kobar mengutuknya untuk acara orang kafir
yang menyengaja dibikin untuk bikin umat Islam lupa dari amalan-amalan penting
di bulan mulia. Tetapi, itu sering jadi penawar yang cukup buat seorang bocah
Jawa yang jarang-jarang mendapatkan kebahagiaan Hari Raya-nya.
Salah satunya yang sangat saya ingat serta nikmati
berlangsung baru saja ini. Pada Puasa 2016, tv disesaki oleh dua kompetisi
besar yang berjalan bertepatan: Piala Eropa di Prancis serta Copa America
Centanario di AS. Argentina serta Messi tidak berhasil lagi, sesaat di seberang
benua Cristiano Ronaldo serta Portugal menggondol juara, dua hasil yang saling
tidak membahagiakan. Akan tetapi, di luar Tarawih serta tadarus saya yang
menguap entahlah ke mana, itu salah satu Puasa serta Hari Raya paling baik yang
sempat saya lalui. Pada hari-hari mendekati serta sesudah Hari Raya, kepala
saya dipenuhi analisa serta inspirasi tulisan, karena saya harus menulis untuk
Jawa Pos.
Saya sudah menulis semenjak tahun 1999. Saya punyai piala,
plakat, piagam, serta medali sebab menulis fiksi. Tetapi, baru sesudah menulis
sepakbolalah saya dengar tulisan saya diobrolkan orang di kios potong rambut
tidak jauh dari pangkalan ojek ke arah desa saya, sesaat rekan di warung kopi
menanyakan mengenai laga mendatang seolah saya ialah Bung Kusnaeni. Itu ialah
kemewahan yang serta tidak sempat didapat sebab menulis novel semasa duapuluh
tahun.
Saya pikirkan saya akan memerlukan paragraf-paragraf yang
semakin panjang untuk mengurai masalah jalinan susah tetapi berasa intim di
antara sepakbola serta Hari Raya ini. Jadi, seharusnya di sini saya catat yang
semakin singkat saja: jika dalam kepala saya sepakbola serta Hari Raya sangat
banyak keserupaannya—secara sosial, emosional, serta spiritual; jika, seperti
sepakbola, Hari Raya dapat terus di nikmati serta dirayakan walau kita tidak
percaya akan mendapatkan kemenangan; jika seperti sepakbola, Hari Raya bisa jadi
ialah serangkaian dari ujian akan kesabaran serta loyalitas bukannya selalu
satu pesta; jika seperti sepakbola, pada Hari Raya menempel perayaan-perayaan
yang personal serta intim, di luar yang sosial serta massal.