Rabu, 03 Juni 2020

Perayaan


Erling Haaland ialah seorang remaja semangat; masih muda (19 tahun), tinggi besar, pelari kencang, pirang, serta diramal akan jadi striker hebat di waktu tiba. Dia mendapatkan rumah di Sinyal Iduna Park, kandang Borussia Dortmund, salah satunya club sepakbola yang pilih langkah bermain paling semangat yang kita mengenal, dengan supporter paling semangat (serta paling ribut) yang kita ketahui. Serta akhir minggu kemarin, Haaland serta timnya hadapi Schalke, club tetangga Dortmund, yang sepanjang tahun mencipta salah satunya derbi paling hebat di sepakbola dunia, Ruhr derby.

Haaland cetak gol pertama di laga yang usai 4-0 untuk Dortmund itu, gol ke-10nya musim ini. Tetapi, kecuali langkah bermain Dortmund, semua terlihat tidak sama. Haaland dapat serta biasa membuat semua stadion bergetar bersama-sama tiap perayaan golnya, dengan raungan atau pukulan ke udara atau cengkamannnya ke seragam rekanan yang memberikannya umpan. Hari itu tidak demikian. Sesudah satu sontekan pembelok arah, gol ciri khas striker dengan peletakan tempat hebat, dia lari mengarah bendera di pojok lapangan. Di hari-hari lain dia kemungkinan melaju dengan lututnya, atau mungkin dengan dadanya, atau mengambil tiang bendera serta mengibarkannya mengarah tribun, meraung, menumpahkan adrenalinnya, serta semua rekanan segrupnya akan mengerubutinya, menimbuninya, mencium ubun-ubunnya, atau serta melekatenginya dengan gemas. Tetapi hari itu Haaland cuma berdiri dengan kikuk menghadap mengarah teman-teman segrupnya yang akan mengerumuninya, dengan seorang dari mereka memberikan aba-aba supaya jaga jarak darinya, lalu dia menari. Kaku serta malu-malu, seolah dia bocah aneh yang diminta menyanyi di muka kelas. Keceriaan itu jelas masih nampak, senyum bayinya mengembang, tetapi luapan emosi benar-benar jelas kuat-kuat ditahan.

Barney Ronay di The Guardian menyebutkan situasi yang berlangsung di Sinyal Iduna Park hari itu untuk "eerie silence", kesunyian yang menakutkan; arti yang sedikit aneh, tetapi benar-benar dapat diterima. Di stadion yang umum berisi 82 ribu orang itu, serta kesemuanya akan meraung dengan cara bertepatan saat berlangsung gol untuk tuan-rumah, hari itu cuma diisi seputar 300-an orang. Beberapa besarnya ialah pekerja stadion serta petugas laga, termasuk juga didalamnya anak gawang yang sudah dikurangi separuh dari jumlah biasa. Tidak ada pemirsa yang bisa masuk, tidak bisa berkerubung di dekat stadion. Sebagian orang yang duduk di tribun di bangku yang berjauhan ialah beberapa pemain pengganti ke-2 team, dengan selimut di kaki serta masker di muka—mungkin beberapa salah satunya berasa mereka tidak semestinya ada disana. Semua pekikan, bentrokan, keluh kesah, cacian tertangkap mikrofon di tepi lapangan serta digemakan ke semua stadion—dan didengar pemirsa di muka tv. (Itu mengapa cacian "Sana keloni nenekmu" dari bek Schalke Jean-Clair Todibo ke Haaland jadi terdengar jelas.) Yang nampak semakin aneh lagi, selesai laga, Haaland serta kawan-kawan segrupnya lakukan penghormatan mengarah tribun kosong The Yellow Wall yang populer itu.

Tentunya, hal yang berlangsung di Sinyal Iduna Park berlangsung di delapan stadion lain di Bundesliga Jerman minggu kemarin, yang kembali lagi meneruskan Liga sesudah diminta libur yang tidak direncanakan semasa dua bulan. Serta dia akan berlangsung di beberapa liga Eropa lain, yang selekasnya mengejar minimal awal Juni—kecuali yang sudah mengatakan tutup buku seperti di Prancis serta Belanda.

Beberapa orang mensyukuri kembalinya sepakbola, termasuk juga saya. Tetapi, ada beberapa faksi , serta ini cukup banyak, yang berasa jika sepakbola tanpa ada pemirsa bukan sepakbola. "Saya lebih bagus tidak bermain sepakbola bila tidak ada yang melihat. Itu tidak logis," kata Pep Guardiola baru saja ini. "Tidak ada yang semakin kosong dibandingkan satu stadion yang kosong. Tidak ada yang semakin bisu dibandingkan tribun yang tanpa ada pemirsa," catat Eduardo Galeano di bukunya yang mashur, Soccer in Sun and Shadow. Pep serta Galeano bicara di serta untuk kerangka yang lain, tetapi kedua-duanya saling mengutamakan jika stadion serta pemirsa ialah sisi yang tidak dapat diambil serta dipisah dari sepakbola.

"Kuil Beberapa Dewa yang Mencapai Bumi," demikian Christopher Thomas Gaffney memberikan judul studinya mengenai stadion-stadion di Brazil serta Argentina. Tetapi ini dapat juga dilekatkan pada sepakbola Eropa Barat yang punyai adat teras yang kuat, seperti di Inggris serta Jerman. Seperti digemakan oleh kalimat Galeano, Gaffney merasakan jika tetap ada dimensi ilahiah pada rekanan di antara stadion, pemirsa, serta pemain. Serta tv bukanlah tidak tahu itu.

Dalam langkah pandang industri tv, kedatangan pemirsa di stadion, keributan yang mereka buat, atmosfer yang diakibatkan oleh nyanyian pujian, dengusan sedih, cacian geram, tangisan kalah, ialah sisi integral dari tontonan yang mereka jual. Oleh karena itu mereka menempatkan beberapa ratus mikrofon yang menghadap ke tribun pemirsa, serta terakhir menerbangkan camera di atas stadion. Walau berbuih-buih bicara mengenai nilai-nilai sportivitas, mengakhiri pertandingan untuk sisi dari moralitas ksatria, ketetapan untuk selalu meneruskan Liga di sejumlah negara jelas didorong oleh fakta ekonomi: tim-tim perlu hidup, upah pemain serta karyawan club harus dibayar, dan—terutama—televisi tidak ingin begitu rugi.

Tetapi, tentunya, tidak saja tv kehilangan beberapa pesona jualannya. Stadion yang tanpa ada pemirsa membuat pemain di atas lapangan kehilangan pemujanya. Serta "beberapa orang yang memelototi satu tabung" (demikian Nick Hornby, novelis sekaligus juga supporter Arsenal, mencibir beberapa pemirsa tv) kehilangan sejumlah besar drama.

Serta pada umumnya, sepakbola kehilangan beberapa citarasa perayaannya.


Walau kemungkinan dipandang ofensif oleh beberapa skripturalis, yang memandang Islam (serta segala hal yang dapat dikaitkan dengannya) untuk "ya'lu wala yu'la", sesaat beberapa esoteris yang tetap punyai rincian panjang serta jelimet mengenai apa saja berkait agama kemungkinan menganggap reduksionis, saya dengan benar-benar gampang menyambungkan sepakbola serta Hari Raya. Lebih-lebih di waktu epidemi ini.

Sebelum keterhubungan itu saya terangkan, saya harus katakan jika saya bukan fans berat Hari Raya—setidaknya bila kita bicara mengenai "apa yang umum berlangsung" serta "bukan apakah yang semestinya berlangsung". Semua bocah akan menanti Hari Raya selanjutnya demikian Hari Raya usai, saya demikian. Tetapi, seingat saya, tidak kebanyakan hal hebat yang berlangsung pada saya pada hari spesial ini. Hari Raya seringkali berasa untuk acara pesta seseorang yang perlu saya turuti. Saya terkadang turut suka. Tetapi, bila tidak, saya ketahui saya cuma ikutan.

Pakaian baru, jajan serta penganan melimpah, tamu yang berduyun, jelas itu membahagiakan untuk bocah yang tumbuh di keluarga miskin seperti saya—selain tentunya jalanan yang ramai, serta satu bulan penuh puasa yang pada akhirnya selesai. Tetapi, terkadang itu tidak sebanding dengan muntaber hebat yang seringkali saya alami, minimal di umur di antara 9 hingga12, umumnya sebab keracunan makanan. Serta walau saya akan suka dibawa ke beberapa rumah lain dengan jajan yang semakin enak, atau ke sanak famili di desa yang jauh (serta umumnya semakin kaya), saya sejak dahulu sering jadi yang sangat tidak ketertarikan untuk "bersilaturrahmi". Serta, seringkali, dari malas menjadi siksaan bila ibu saya, seorang yang terkenal, dengan saudara serta rekan bersebaran dimana saja, mulai sedikit memaksakan.

Lebaran di saat-saat remaja jelas semakin berat. Bapak tidak berada di di antara kami, hingga saya dalam satu-dua hal perlu ambil peranan tradisionilnya: berkunjung ke famili yang tidak begitu saya mengenal, menyongsong tamu yang asing, atau beberapa hal seperti itu. Itu tidak membahagiakan. Bukan karena hanya saya berasa masih begitu muda untuk melakukan, dan juga sebab saya berasa telah lumayan besar untuk lakukan hal yang semestinya dilaksanakan beberapa remaja di Hari Raya.

Tidak tiap tahun berlangsung, tetapi beberapa Hari Raya paling tidak membahagiakan, sepi, terlewatkan, serta patut dilalaikan, berlangsung diakhir umur belasan serta awal 20-an. Tidak ada ke-2 orang-tua di dalam rumah, serta dalam beberapa peluang tidak ada apakah juga di dalam rumah. Telephone di wartel yang melelahkan serta tidak sebanding, tangisan serta kiriman tidak penting, serta beberapa hal tidak enak lainnya, sering memualkan serta habiskan energi serta emosi. Hari-hari Raya lain yang semakin komplet serta lebih membahagiakan terkadang tidak menyembuhkan cedera yang ditinggalkannya.

Tetapi, tentunya, semuanya tidak langsung membuat Hari Raya tidak saya kangenin. Dari sono-nya, ini ialah hari untuk senang, berbahagia; saya meyakini itu serta susah menyanggahnya. Kepulangan-kepulangan mendekati Hari Raya atau di hari-hari paling akhir Ramadan ialah kepulangan-kepulangan paling ketertarikan antara yang datar serta dilaksanakan dengan malas. Saya sudah tinggalkan kampung halaman semenjak umur 15, serta saya merasakan—hakul percaya merasakan—apa yang juta-an orang Indonesia rasakan saat mudik. Semasa berpuluh tahun, beberapa orang mempertaruhkan uang serta tenaga, serta nyawa, untuk dapat pulang jelas tidak semata-mata sebab keharusan, serta memang itu yang berlangsung. Sebelum kebahagian di Hari Raya datang, kebahagian lain (yang terkadang terasa semakin besar) ialah kembali lagi ada di kampung kelahiran. Serta kedua-duanya jelas bertalian.

Bergabung dengan keluarga besar di Hari Raya ada saatnya jadi neraka yang ada satu tahun sekali. Tetapi, tidak dimungkiri, antara itu tersisip kesenangan serta kebahagiaan yang teringat sampai sekian tahun selanjutnya. Iklan-iklan panjang dari produsen sirup serta bank serta rokok mengenai Hari Raya seringkali ngibul serta melebih-lebihkan, tetapi dalam banyak hal mereka memang betul.

Tidak ada Hari Raya yang prima. Tentu. Tetapi mengapa kita terus kangen untuk merayakannya—sebagian dengan tempuh jarak beberapa ratus kilo, kuras beberapa (besar) tabungan, tempuh beberapa efek? Kemungkinan sebab kita terus cari Hari Raya yang prima itu.

Saya belum memperolehnya—Hari Raya yang prima itu. Serta kemungkinan tidak akan memperolehnya. Tetapi, bila saya perlu alami yang sangat jelek salah satunya, dalam banyak peluang, seperti dalam banyak hal, sepakbola umumnya selamatkan saya.


Pada suatu Hari Raya, saya dibawa Bapak berkunjung ke famili jauh namanya Paman Sam. Dia seorang juragan perahu dalam suatu desa nelayan. Tempat tinggalnya besar serta perabotannya eksklusif. Satu tv besar berada di tengahnya ruangan tamunya. Di dalam rumah besar itu, untuk kali pertamanya, saya melihat tv berwarna. Kebetulan, itu ialah satu siaran secara langsung laga sepakbola. Jepang musuh Indonesia.

Laga usai jelek untuk Indonesia. Kita dihajar 5-0 oleh Jepang yang saat itu masih amatiran. Lapangan serta cuaca nampak pucat serta kuyu. Beberapa pemain Indonesia menggigil kedinginan serta alami flu, demikian pengamat TVRI memberitahukan. Ricky Yakobi serta Robby Darwis tidak henti-hentinya mengusap hidungnya yang meler. Saya tidak ingat itu tahun berapakah. (Bila video di Youtube serta data Wikipedia betul, peluang itu berlangsung pada tengah Juni 1989, dalam laga Kwalifikasi Piala Dunia 1990 Group 6.) Tetapi begitu saya dapat mengingat momen itu—mungkin salah satunya momen melihat paling jelas yang dapat saya ingat—sampai saat ini, saya ketahui itu ialah pengalaman melihat yang mengagumkan.

Walau dihitung dalam skema penanggalan tidak sama, Hari Raya hampir tidak dapat melepas diri dari sepakbola, minimal semenjak tv Indonesia menyiarkan dengan teratur beberapa liga besar Eropa. Bila Puasa jatuh bersamaan dengan musim panas Eropa, hampir dinyatakan dia akan beririsan dengan Piala Dunia atau Piala Eropa, yang diadakan (dengan cara selang-seling) 2 tahun sekali. Apabila Puasa jatuh di luar bulan di antara Mei serta Agustus, karena itu tentunya beberapa liga masih berjalan. Beberapa penceramah Tarawih pembenci sepakbola bisa jadi dengan berkobar-kobar mengutuknya untuk acara orang kafir yang menyengaja dibikin untuk bikin umat Islam lupa dari amalan-amalan penting di bulan mulia. Tetapi, itu sering jadi penawar yang cukup buat seorang bocah Jawa yang jarang-jarang mendapatkan kebahagiaan Hari Raya-nya.

Salah satunya yang sangat saya ingat serta nikmati berlangsung baru saja ini. Pada Puasa 2016, tv disesaki oleh dua kompetisi besar yang berjalan bertepatan: Piala Eropa di Prancis serta Copa America Centanario di AS. Argentina serta Messi tidak berhasil lagi, sesaat di seberang benua Cristiano Ronaldo serta Portugal menggondol juara, dua hasil yang saling tidak membahagiakan. Akan tetapi, di luar Tarawih serta tadarus saya yang menguap entahlah ke mana, itu salah satu Puasa serta Hari Raya paling baik yang sempat saya lalui. Pada hari-hari mendekati serta sesudah Hari Raya, kepala saya dipenuhi analisa serta inspirasi tulisan, karena saya harus menulis untuk Jawa Pos.

Saya sudah menulis semenjak tahun 1999. Saya punyai piala, plakat, piagam, serta medali sebab menulis fiksi. Tetapi, baru sesudah menulis sepakbolalah saya dengar tulisan saya diobrolkan orang di kios potong rambut tidak jauh dari pangkalan ojek ke arah desa saya, sesaat rekan di warung kopi menanyakan mengenai laga mendatang seolah saya ialah Bung Kusnaeni. Itu ialah kemewahan yang serta tidak sempat didapat sebab menulis novel semasa duapuluh tahun.

Saya pikirkan saya akan memerlukan paragraf-paragraf yang semakin panjang untuk mengurai masalah jalinan susah tetapi berasa intim di antara sepakbola serta Hari Raya ini. Jadi, seharusnya di sini saya catat yang semakin singkat saja: jika dalam kepala saya sepakbola serta Hari Raya sangat banyak keserupaannya—secara sosial, emosional, serta spiritual; jika, seperti sepakbola, Hari Raya dapat terus di nikmati serta dirayakan walau kita tidak percaya akan mendapatkan kemenangan; jika seperti sepakbola, Hari Raya bisa jadi ialah serangkaian dari ujian akan kesabaran serta loyalitas bukannya selalu satu pesta; jika seperti sepakbola, pada Hari Raya menempel perayaan-perayaan yang personal serta intim, di luar yang sosial serta massal.