Rabu, 03 Juni 2020

Masih Relevankah Doktrin Politik Sunni pada Masa Ini?



Seperti saya terangkan dalam sisi awalnya, ciri inti doktrin politik Sunni ialah "realisme-pragmatis" yang diikuti oleh akseptasi yang "legawa" pada posisi quo kekuasaan, walaupun dia zalim serta otoriter.

Karena oposisi pada kekuasaan yang zalim, walau dengan cara moral-politik benar-benar asli, dapat memunculkan karena yang semakin jelek: fitnah, kericuhan politik.

Seperti saya terangkan tempo hari, kita tidak dapat mempersalahkan ulama Sunni yang merangkum doktrin yang "ingin main aman" semacam ini. Kelahiran doktrin ini berkaitan dengan corak kekuasaan tradisionil yang condong beringas, tidak terima oposisi berbentuk apa saja, serta "ketegaan" raja-raja tradisionil dahulu untuk memberi hukuman beberapa musuh politik dengan cara kejam (silakan baca Tarikh al-Tabari tentang riwayat politik yang beringas di jaman kerajaan-kerajaan Islam awal dahulu).

Penguasa tradisionil tidak punyai beberapa pilihan terkecuali jalankan politik yang kejam semacam ini, sebab cukup dengan langkah demikian mereka dapat pastikan ketaatan rakyat. Praktik "rule by fear" (berkuasa dengan memberikan ketakutan) seperti ini ialah hal yang umum pada jaman lampau.

Umumnya mode kekuasaan seperti ini akan sangat terpaksa dilakukan oleh raja-raja tradisionil saat mereka telah kehilangan kegitimasi di mata rakyat. Berikut yang berlangsung pada masa dinasti Umawiyyah pada saat awal Islam. Pada saat berikut doktrin Sunni yang "quietist," patuh pada kekuasaan itu sebelumnya dirumuskan.

Pertanyaannya: Apa doktrin ini masih berkaitan saat ini, saat kerangka politik telah beralih dengan cara keseluruhan? Apakah yang saya tujuan dengan "perkembangan kerangka" di sini yaitu timbulnya negara kekinian yang biasanya berpedoman skema politik yang demokratis.

Dalam skema semacam ini, oposisi serta kritikan pada penguasa bukan hal yang "tabu". Tidak ada "political reprisal" atau balas sakit hati politik yang kejam dari penguasa dalam negara kekinian yang demokratis pada beberapa pengkritiknya seperti di jaman dahulu.

Saya condong menjawab: jika doktrin politik Sunni ini pada umumnya masih berkaitan sampai saat ini. Dalam pandangan saya, ada banyak efek positif dari doktrin Sunni yang quietist itu dalam kehidupan kenegaraan kekinian. Diantaranya ialah hal di bawah ini.

Biasanya, ulama Sunni condong semakin fleksibel dengan cara politik serta gampang terima negara kekinian berbentuk bangsa dan negara, nation state (mode negara yang tidak sempat diketahui di waktu lampau!). Fleksibiltas ini, saya sangka, ada hubungannya dengan doktrin politik Sunni yang "realis-pragmatis" itu.

Beberapa ulama NU di Indonesia, untuk penerus resmi ideologi politik Sunni di negeri ini, untuk contoh masalah yang kongkrit, belum pernah berusaha untuk membangun negara Islam di Indonesia. Mereka tidak sepakat dengan Kartosuwirjo yang akan membangun Negara Islam Indonesia (NII) dahulu.

Ini yang menerangkan mengapa ulama serta kiai NU dengan tegas menampik inspirasi negara khilafah yang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir (HT), sebab di mata beberapa mereka, perjuangan seperti ini tidak ada perbedaannya dengan pemberontakan Kartosuwirjo dahulu. Buat mereka, memberontak pemerintah yang resmi (al-sulthan al-mutaghallib) ialah aksi bughat yang tidak dapat disahkan dalam agama—meskipun pemberontakan itu atas nama "perjuangkan Islam".

Mereka memahami benar begitu banyak pemberontakan dalam riwayat awal Islam dahulu dilaksanakan atas nama Islam, seperti pada masalah golongan Khawarij (barisan pemberontak yang ada pada saat khalifah ke-4 sesudah meninggal dunianya Kanjeng Nabi, Ali bin Abi Talib). Memberontak ya masih memberontak. Titik.

Barisan Sunni benar-benar gampang menyesuaikan dengam skema politik mana saja, meskipun skema itu dilihat "sekular" di mata beberapa golongan Islam lain (umumnya barisan yang ikuti doktrin politik "radikal-idealis").

Buat umat Sunni, lebih bagus hidup dalam skema politik yang tidak atau kurang bagus dibanding memberontak yang justru berbuntut pada "fitnah," kericuhan politik yang sangat beresiko. Adaptabilitas politik golongan Sunni seperti ini, buat saya, juga menolong koalisi demokrasi di Indonesia.

Jalan politik "radikal-idealis" sama seperti yang dilakukan oleh beberapa kelompok-kelompok politik dalam Islam, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, benar-benar tidak dapat diterima oleh sebagian besar ulama Sunni. Buat mereka, jalan radikal-idealis ini "tidak Sunni sekali." Politik seperti ini tetap memunculkan reaksi penampikan dari ulama Sunni biasanya.

Ini bukanlah bermakna jika ulama Sunni terima dengan penuh "tawakkal" pada kekuasaan yang otoriter. Beberapa ulama serta beberapa tokoh Sunni tidak enggan-segan lakukan kritikan atas penguasa.

Namun, mereka mengomentari dalam koridor doktrinal sama seperti yang digariskan oleh al-Ghazali dalam al-Tibr al-Masbuk: yakni menasehati, kritikan (dapat berbentuk kritikan keras!) pada penguasa. Berikut jalan yang oleh al-Ghazali dikatakan sebagai siyasat al-‘ulama' (politik beberapa ulama/kiai) yang meneruskan siyasat al-anbiya' (politik beberapa nabi).

Jalan berikut yang dahulu dilakukan oleh Gus Dur di waktu Orde Baru, waktu ia lakukan kritikan serta oposisi politik pada rezim Suharto waktu itu. Gus Dur jalankan "siyasat al-ulama'" ala al-Ghazali: yaitu, memberikan "saran/kritikan" pada penguasa. Tapi ya cuma hanya itu. Gus Dur tidak ingin mengambil langkah semakin jauh: lakukan "macht vorming," membuat kemampuan untuk menantang pemerintah. Itu jelas tidak Sunni sekali!