Seperti saya terangkan dalam sisi awalnya, ciri inti doktrin
politik Sunni ialah "realisme-pragmatis" yang diikuti oleh akseptasi
yang "legawa" pada posisi quo kekuasaan, walaupun dia zalim serta
otoriter.
Karena oposisi pada kekuasaan yang zalim, walau dengan cara
moral-politik benar-benar asli, dapat memunculkan karena yang semakin jelek:
fitnah, kericuhan politik.
Seperti saya terangkan tempo hari, kita tidak dapat
mempersalahkan ulama Sunni yang merangkum doktrin yang "ingin main
aman" semacam ini. Kelahiran doktrin ini berkaitan dengan corak kekuasaan
tradisionil yang condong beringas, tidak terima oposisi berbentuk apa saja,
serta "ketegaan" raja-raja tradisionil dahulu untuk memberi hukuman
beberapa musuh politik dengan cara kejam (silakan baca Tarikh al-Tabari tentang
riwayat politik yang beringas di jaman kerajaan-kerajaan Islam awal dahulu).
Penguasa tradisionil tidak punyai beberapa pilihan
terkecuali jalankan politik yang kejam semacam ini, sebab cukup dengan langkah
demikian mereka dapat pastikan ketaatan rakyat. Praktik "rule by
fear" (berkuasa dengan memberikan ketakutan) seperti ini ialah hal yang
umum pada jaman lampau.
Umumnya mode kekuasaan seperti ini akan sangat terpaksa
dilakukan oleh raja-raja tradisionil saat mereka telah kehilangan kegitimasi di
mata rakyat. Berikut yang berlangsung pada masa dinasti Umawiyyah pada saat
awal Islam. Pada saat berikut doktrin Sunni yang "quietist," patuh
pada kekuasaan itu sebelumnya dirumuskan.
Pertanyaannya: Apa doktrin ini masih berkaitan saat ini,
saat kerangka politik telah beralih dengan cara keseluruhan? Apakah yang saya
tujuan dengan "perkembangan kerangka" di sini yaitu timbulnya negara
kekinian yang biasanya berpedoman skema politik yang demokratis.
Dalam skema semacam ini, oposisi serta kritikan pada
penguasa bukan hal yang "tabu". Tidak ada "political
reprisal" atau balas sakit hati politik yang kejam dari penguasa dalam
negara kekinian yang demokratis pada beberapa pengkritiknya seperti di jaman
dahulu.
Saya condong menjawab: jika doktrin politik Sunni ini pada
umumnya masih berkaitan sampai saat ini. Dalam pandangan saya, ada banyak efek
positif dari doktrin Sunni yang quietist itu dalam kehidupan kenegaraan
kekinian. Diantaranya ialah hal di bawah ini.
Biasanya, ulama Sunni condong semakin fleksibel dengan cara
politik serta gampang terima negara kekinian berbentuk bangsa dan negara,
nation state (mode negara yang tidak sempat diketahui di waktu lampau!).
Fleksibiltas ini, saya sangka, ada hubungannya dengan doktrin politik Sunni
yang "realis-pragmatis" itu.
Beberapa ulama NU di Indonesia, untuk penerus resmi ideologi
politik Sunni di negeri ini, untuk contoh masalah yang kongkrit, belum pernah
berusaha untuk membangun negara Islam di Indonesia. Mereka tidak sepakat dengan
Kartosuwirjo yang akan membangun Negara Islam Indonesia (NII) dahulu.
Ini yang menerangkan mengapa ulama serta kiai NU dengan
tegas menampik inspirasi negara khilafah yang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir
(HT), sebab di mata beberapa mereka, perjuangan seperti ini tidak ada
perbedaannya dengan pemberontakan Kartosuwirjo dahulu. Buat mereka, memberontak
pemerintah yang resmi (al-sulthan al-mutaghallib) ialah aksi bughat yang tidak
dapat disahkan dalam agama—meskipun pemberontakan itu atas nama
"perjuangkan Islam".
Mereka memahami benar begitu banyak pemberontakan dalam
riwayat awal Islam dahulu dilaksanakan atas nama Islam, seperti pada masalah
golongan Khawarij (barisan pemberontak yang ada pada saat khalifah ke-4 sesudah
meninggal dunianya Kanjeng Nabi, Ali bin Abi Talib). Memberontak ya masih
memberontak. Titik.
Barisan Sunni benar-benar gampang menyesuaikan dengam skema
politik mana saja, meskipun skema itu dilihat "sekular" di mata
beberapa golongan Islam lain (umumnya barisan yang ikuti doktrin politik
"radikal-idealis").
Buat umat Sunni, lebih bagus hidup dalam skema politik yang
tidak atau kurang bagus dibanding memberontak yang justru berbuntut pada
"fitnah," kericuhan politik yang sangat beresiko. Adaptabilitas
politik golongan Sunni seperti ini, buat saya, juga menolong koalisi demokrasi
di Indonesia.
Jalan politik "radikal-idealis" sama seperti yang
dilakukan oleh beberapa kelompok-kelompok politik dalam Islam, seperti Ikhwanul
Muslimin di Mesir, benar-benar tidak dapat diterima oleh sebagian besar ulama
Sunni. Buat mereka, jalan radikal-idealis ini "tidak Sunni sekali."
Politik seperti ini tetap memunculkan reaksi penampikan dari ulama Sunni
biasanya.
Ini bukanlah bermakna jika ulama Sunni terima dengan penuh
"tawakkal" pada kekuasaan yang otoriter. Beberapa ulama serta
beberapa tokoh Sunni tidak enggan-segan lakukan kritikan atas penguasa.
Namun, mereka mengomentari dalam koridor doktrinal sama
seperti yang digariskan oleh al-Ghazali dalam al-Tibr al-Masbuk: yakni
menasehati, kritikan (dapat berbentuk kritikan keras!) pada penguasa. Berikut
jalan yang oleh al-Ghazali dikatakan sebagai siyasat al-‘ulama' (politik
beberapa ulama/kiai) yang meneruskan siyasat al-anbiya' (politik beberapa
nabi).
Jalan berikut yang dahulu dilakukan oleh Gus Dur di waktu
Orde Baru, waktu ia lakukan kritikan serta oposisi politik pada rezim Suharto
waktu itu. Gus Dur jalankan "siyasat al-ulama'" ala al-Ghazali:
yaitu, memberikan "saran/kritikan" pada penguasa. Tapi ya cuma hanya
itu. Gus Dur tidak ingin mengambil langkah semakin jauh: lakukan "macht
vorming," membuat kemampuan untuk menantang pemerintah. Itu jelas tidak
Sunni sekali!