Walau bukan sisi dari doktrin inti dalam Islam, ulama Sunni
tidak abai pada politik: mereka merangkum beberapa doktrin politik berdasar
pengalaman riwayat yang mereka rasakan. Impak doktrin ini masih bertahan sampai
saat ini, walau artikulasinya dalam kerangka kehidupan kekinian dapat alami
sedikit modifikasi serta macam.
Pada umumnya, doktrin politik Sunni dapat dirumuskan dalam
arti simpel ini: "realisme pragmatis", bukan
"radikal-idealis". Apakah yang saya tujuan dengan "realisme
pragmatis" ialah sikap yang diikuti, diantaranya, dengan kesediaan untuk
terima "posisi quo" politik, walau itu berbentuk kekuasaan yang otoriter
serta lalim.
Memberontak pada kekuasaan yang ada (dalam literatur fikih
politik disebutkan: al-sulthan al-mutaghallib, penguasa yang dengan cara de
facto menang serta berkuasa), dikritik dengan keras. Aksi memberontak seperti
ini dikatakan sebagai: al-baghyu, serta aktornya ialah bughat, beberapa
pemberontak.
Riwayat koalisi politik kekuasaan pasca-wafatnya Kanjeng
Nabi pada abad-abad pertama Hijriyah tinggalkan trauma politik yang dalam buat
ulama Sunni.
Belajar pengalaman dari riwayat ini, mereka sampai pada
simpulan yang telah mantap: sezalim apa saja satu kekuasaan, dia lebih bagus
daripada situasi "vacuum" politik yang memunculkan "fitnah"
atau kericuhan. Ada seperti "unen-unen" (political wisdom) dari
beberapa ulama salaf (generasi pertama Islam) jika: enam puluh tahun di bawah
penguasa yang zalim serta otoriter, lebih bagus daripada satu malam saja tanpa
ada penguasa.
Situasi yang sangat ditakuti oleh ulama Sunni ialah apakah
yang disebutkan dengan "fitnah," yakni kericuhan politik sebab ada
pemberontakan. Koalisi kekuasaan di awal-awal riwayat Islam memerlukan
kekuasaan tangan-besi yang berdarah-darah.
Pemberontakan hampir ada dalam tiap faset riwayat Islam
awal, serta setiap saat itu juga beberapa puluh ribu nyawa dikorbankan; darah
tumpah percuma. Kekuasaan yang beringas bukan monopoli riwayat Islam; ini
hampir jadi keunikan kekuasaan tradisionil di mana saja pada saat pra-modern.
Tehnik berkuasa serta beberapa alat untuk mengatur kekuasaan
belum bertumbuh dengan hebat pada saat itu. Kekejaman serta kebrutalan dalam
hadapi lawan-lawan politik ialah tehnik yang digunakan oleh penguasa
tradisionil untuk "memberikan" rasa takut serta intimidasi pada
masyarakat supaya mereka tidak mencoba menantang.
Negara kekinian tidak memerlukan kebrutalan dalam rasio yang
sama yang dipraktikkan penguasa tradisionil, sebab beberapa tehnik kontrol
sudah bertumbuh cepat saat ini. Ini, diantaranya, difasilitasi oleh perubahan
tehnologi komunikasi, surveillance serta penyadapan yang hebat.
Pikirkan situasi berikut itu: penguasa tradisionil
kemungkinan memerlukan waktu beberapa minggu, serta beberapa bulan, sebelum
mengetahui jika pemberontakan berlangsung dalam suatu teritori yang jauh sekali
dari pusat kerajaannya.
Negara kekinian cuma memerlukan waktu demikian detik saja
untuk mengetahui pemberontakan seperti ini. Ketidaksamaan tehnik kontrol dalam
kekuasaan berikut yang, saya anggap, "memaksakan" penguasa-penguasa
tradisionil menggunakan tehnik penyiksaan yang beringas pada beberapa lawannya.
Cuma dengan demikian mereka dapat jamin "ketundukan" rakyat.
Keadaan politik seperti berikut yang, saya anggap,
menggerakkan beberapa ulama Sunni dalam babak awal riwayat Islam merangkum
sikap politik yang condong "quietist," diam, taat, patuh pada
penguasa, baik penguasa yang adil atau zalim. Karena pilihan lain ialah:
memberontak yang malah memunculkan "fitnah" serta kericuhan yang
semakin beresiko.
Dalam kerangka kekuasaan tradisionil, serta pertanda oposisi
yang simpel sekalinya (bukan pemberontakan!) akan ditemui dengan penindasan
yang kejam.
Kemaslahatan agama terusik waktu berjalan fitnah atau
kericuhan politik: beberapa orang tidak dapat dengan aman jalankan beribadah,
ngaji, cari nafkah, dan lain-lain. Keamanan, serta bukan kebebasan, ialah
"komoditi politik" yang sangat bernilai dalam warga tradisionil
seperti ditemui oleh ulama Sunni jaman lampau. Inspirasi kebebasan politik
masih begitu jauh dari "imajinasi politik" ulama di waktu itu.
Kita tidak dapat mempersalahkan ulama Sunni pada jaman itu.
Rumusan sikap politik realis-pragmatis ialah sikap yang sangat logis pada
kondisi politik sama seperti yang saya deskripsikan di atas. Ini benar-benar
bukan bermakna jika ulama Sunni tidak lakukan "opisisi politik".
Kekebalan pada penguasa yang zalim dilaksanakan oleh beberapa ulama pada jaman
itu, tapi mereka melakukan secara "aman".
Berikut yang oleh al-Ghazali dalam dikatakan sebagai
"siyasat al-‘ulama'," politik beberapa ulama serta kiai. Politik
bagus untuk beberapa kiai, dalam pandangan al-Ghazali, ialah al-wa‘dzu
wa-l-irshad, memberi input pada penguasa yang zalim lewat "kritikan
lisan": memberikan saran.
Mode politik "radikal-idealis," dengan melawan
terus-terang penguasa, bukan jalan yang disenangi oleh ulama Sunni. Mereka
semakin pilih jalan yang semakin bawa maslahat: terima kekuasaan yang ada, apa
saja situasiya, walau dengan "nggrundel". Itu lebih bagus dibanding
kericuhan yang muncul sebab aksi melawan penguasa.
Apa sikap politik semacam ini masih berkaitan saat ini? Ini
akan topik perbincangan saya dalam tulisan selanjutnya.