Rabu, 03 Juni 2020

Apakah Kita Perlu Negara?




Semenjak dulu, permasalahan politik tetap memunculkan dialog panas; seringkali menyertakan emosi yang dalam. Antara semua bagian-bagian kehidupan manusia yang bermacam, kemungkinan politiklah yang sangat penuh dengan muatan emosi.

Pemicunya bisa jadi sebab ciri-ciri politik yang terkait dengan "kehendak untuk memimpin" faksi lain; memimpin dalam memiliki bentuk yang prima: berkuasa. Supremasi ini umumnya dilembagakan dalam lembaga namanya "negara."

Tiap klaim atas kekuasaan telah pasti memunculkan kekebalan dari faksi lain. Karena manusia, dengan cara perasaanah, ingin hidup terlepas dari "supremasi" seseorang. Dalam diri manusia ada dorongan-dorongan alami mengarah "anarkisme" dalam pengertiannya yang luas—yaitu, dorongan untuk hidup "bebas" dari supremasi/kekuasaan oleh faksi lain.

Dorongan ini dengan sangat baik sempat disebutkan oleh khalifah ke-2, Umar bin Khattab, dalam pernyataan yang masyhur: "Mata ista‘badtum al-nasa wa-qad waladathum ummahatuhum ahraran"—sejak kapan kalian memperbudak beberapa orang, walau sebenarnya mereka dilahirkan untuk orang merdeka.

Merdeka ialah situasi bagus yang diharapkan oleh kesemua orang. Seandainya (satu kali lagi: seandainya!) ada situasi "bagus" dimana bisa saja manusia hidup tanpa ada kekuasaan negara, ia pasti memilihnya, daripada hidup di bawah kekuasaan negara.

Kehadiran lembaga negara dengan cara automatis akan berbuntut pada situasi tidak bagus: ada sekumpulan orang yang berkuasa, serta beberapa orang lain yang dikendalikan. "Patuh" pada kekuasaan seseorang ialah situasi yang dengan cara perasaanah tidak disenangi manusia.

Mimpi mengenai hilangnya lembaga negara ini bukanlah barang baru yang ada sesudah Karl Marx. Ini ialah utopia lama semenjak jaman Yunani, serta kita temui dalam tradisi-tradisi komune lain. Masyarakar Samin di Jawa salah satu contoh komune yang tidak "nyaman" dengan lembaga negara.

Dalam adat pertimbangan politik Islam classic, beberapa suara "pengacau" telah ada semenjak abad-abad pertama Hijriyah. Ada dua nama yang dapat disebutkan: Hisyam al-Fuwathi (w. 833) serta Abu Bakr al-Asham (w. 892), kedua-duanya pemikir Mu'tazilah yang "emoh" alias kurang senang pada instansi negara, seperti direkam dalam karya besar al-Mawardi (w. 1058), al-Ahkam al-Sulthaniyyah (salah satunya karya paling dahulu tentang teori politik Islam).

Bagaimana tempat akidah Asy‘ariyyah dalam kasus ini?

Ada seperti konsensus (ijma‘) di golongan beberapa teolog Sunni, baik Asy‘ariyyah ataulah bukan, jika negara harus ada. Arti yang digunakan dalam literatur classic Islam ialah: ‘aqdu-l-imamah, pilih seorang kepala negara. Tujuannya pasti bukan sebatas pilih kepala negara, tetapi membangun negara tersebut.

Berikut tempat sebagian besar ulama Islam. Ini, saya anggap, benar-benar alami. Untuk keperluan ringkas hidup setiap hari, dengan cara perasaanah manusia pasti pilih ada instansi negara. Tanpa ada "leviathan" namanya negara, kehidupan kemungkinan kacau.

Apa dengan begitu politik adalah sisi dari "inti doktrin" agama? Beberapa orang kemungkinan dapat tidak sama opini mengenai rumor ini. Tapi dalam interpretasi saya: politik bukan sisi dari doktrin inti Islam.

Dalam pandangan Sunni, lembaga negara dilihat sangat penting (al-Ghazali memperjelas jika agama serta kekuasaan negara ialah dua saudara kembar—tau'aman), serta karenanya mengusung kepala negara ialah "harus" dengan cara hukum agama. Meskipun begitu, ulama Sunni biasanya berpandangan jika politik bukan sisi dari inti doktrin agama (al-siyasah laisat min ashl al-din).

Dalam al-Tibr al-Masbuk, al-Ghazali memperjelas: dalam kerangka kehidupan kolektif, pada dasarnya manusia terdiri atas dua golongan—al-anbiya', beberapa nabi yang pekerjaan intinya ialah jadi penguasa atas "dunia batin" manusia, serta jadi penunjuk jalan ke arah Allah.

Kelompok ke-2 ialah al-muluk, beberapa raja-raja yang pekerjaannya ialah jadi penguasa atas "badan luar" manusia, serta menahan agar mereka tidak sama-sama melukai serta menggempur lainnya.

Dalam Ihya', al-Ghazali membagi politik pada dua tipe: siyasat al-anbiya', yakni politik beberapa nabi yang berkuasa untuk mengatur manusia baik dengan cara lahir (fisik) atau batin (hati). Yang ke-2 ialah siyasatu-l-muluk wa al-salatin, politik beberapa raja serta sultan yang cuma berkuasa mengatur dunia lahiriah manusia, yaitu faktor badan mereka.

Dengan pandangan seperti ini, beberapa ulama Sunni dengan sangat sadar mengaku ada dua "ruangan politik" yang perlu dibedakan, walau tidak dapat dipisah.

Pertama ialah ruangan lahiriah (public sphere) yang terkait dengan kemaslahatan umum. Berikut ruangan dimana lembaga negara bekerja.

Ke-2, ruangan batiniah (privat sphere) yang tersangkut hati serta jiwa manusia, serta disini beberapa nabi serta ulama berperanan besar. "Natuur" atau kepribadian politik beberapa nabi semakin terkait dengan dunia batin manusia. Politik duniawi yang terealisasi dalam instansi negara ialah hal yang karakternya sekunder dalam siyasat al-anbiya'. Politik duniawi ialah wilayahnya beberapa raja serta sultan!

Berikut yang menerangkan mengapa sebagian besar beberapa ulama di Indonesia, dan di dunia Islam lainnya, tidak sepakat pada inspirasi membangun negara Islam dengan cara resmi.

Pangkal pertimbangan teologisnya ialah seperti saya terangkan barusan: yakni ciri-ciri politik beberapa nabi yang semakin terkait sengan "siyasat al-arwah" (politik yang mengatur jiwa serta rohani manusia), bukan siyasat al-abdan (politik yang mengatur tubuh manusia) yang semakin adalah daerah beberapa raja.