Rabu, 03 Juni 2020

Berguna


"Sebagus-baik manusia ialah yang berguna buat manusia yang lain." – al-Hadis
Walau tidak pulang kampung, saat-saat selesai Hari Raya tetap membuat saya mengingat hadis di atas; hadis yang enak serta mudah dihapal (serta versus Arabnya), tetapi sering jadi hantu dalam realisasinya. Kata "mawas diri" atau muhasabah (jika ingin arti yang semakin agamawi), sebagai benar-benar terkenal di selama Ramadan sampai jauh sesudah 1 Syawal, akan menggerakkan kita mengarah yang semakin ruhaniah: amal apakah yang telah kita lakukan, dosa apa serta pada siapa yang telah kerjakan, dst. Tetapi, di saat yang sama, sebetulnya, kata itu seringkali dengan terus-terang merongrong dengan cara fisikal serta sosial: apakah yang telah kita kerjakan untuk diri kita, apakah yang telah kita kerjakan untuk keluarga, sampai (yang sangat berat) apakah yang telah kita kerjakan untuk warga. Bertepatan dengan pertanyaan basa-basi standard yang umum dilemparkan orang waktu beranjangsana, baik bagian keluarga atau semata-mata orang yang kita mengenal ("kerja dimana saat ini", "kamu kapan", "anakmu telah berapakah", "pulang naik apa", "ponakanmu kamu kasih apa", "bapak-ibu telah pada tua, waktu kamu begitu saja", "apakah yang telah kamu kerjakan untuk Muhammadiyah", dst.) memaksakan kita menanyakan apa peranan kita buat dunia di luar kita, baik yang kecil atau yang semakin besar.

Sejauh ini yang kita dengar ialah beberapa keluhan mereka yang berada di tempat atau diposisikan inferior. Mereka yang tidak berhasil dengan cara akademik, tidak sukses dengan cara finansial, kurang mulus dalam kehidupan, serta beberapa hal kurang yang lain, memang yang sangat rawan alami desakan serta paling menanggung derita dari rongrongan masalah peranan serta buat ini. Tetapi, terkadang yang disaksikan semakin superior tidak betul-betul aman, ditambah lagi bila superioritasnya itu seutuhnya cuma berada di kepala seseorang.

Saya, contohnya, yang alumnus kampus paling besar di Indonesia, sempat kerja di Jakarta, lama tinggal di Jogja, kadang-kadang menulis pada media, muka kadang-kadang muncul di koran, sebentar-sebentar didengar keluarkan buku baru, tidak banyak bicara mengenai apakah yang saya kerjakan, seringkali dipandang tetangga serta keluarga besar sembunyikan keberhasilan. Asumsi itu tentunya semakin lebih menentramkan dibandingkan didakwa tutupi ketidakberhasilan, tetapi tentunya hal tersebut bawa resiko. Dari berbasa-basi sampai dengan suara serius, beberapa orang tiba untuk pinjam uang; dari mulai jumlah yang logis sampai yang cuma dapat saya pikirkan bila saya memenangi hadiah sastra tiap bulan. Di peluang lain, orang tiba minta tolong dicarikan pekerjaan, bagus untuk dirinya atau untuk anggota keluarganya. Justru, sempat seorang tetangga jauh, yang saya mengenal nama saja, tiba pada hari Lebaran dengan bawa bermacam bungkusan, meminta pada saya untuk memuluskan kepentingan anaknya dalam suatu kampus yang belum pernah saya mengenal, sama orang yang namanya belum pernah saya dengar, dalam suatu kota yang belum pernah saya kunjungi. Tentunya hampir kesemua orang itu sedih. Tidak saja sebab saya bukan orang yang mereka pikirkan, tetapi sebab saya memang sungguh tidak mempunyai kelebihan serta kekuatan untuk membantu mereka.

Saat menulis fiksi, saya biasa membanting keinginan seseorang (pembaca), serta itu saya kerjakan secara rasa suka. Apesnya, saya ternyata melakukan di kehidupan riil, serta kesempatan ini umumnya perlu saya kerjakan secara rasa sesal. Jika saja penghasilan saya bulanan serta lumayan besar, kemungkinan saya dapat semakin bermurah hati memberi pinjaman; jika saja saya mengenal beberapa orang penting, bisa jadi saya semakin lebih gampang membantu orang; jika saja saya punyai usaha yang semakin riil, atau punyai akses pada satu-dua pebisnis, kemungkinan saya bisa menolong satu-dua famili memperoleh pekerjaannya; serta jika saja jika saja lainnya. Tetapi, bagaimana lagi, saya tidak punyai semuanya. Penghasilan saya 1/2 tahun sekali, itu juga tidak dapat dinyatakan. Pekerjaaan saya masih susah diterangkan, serta pada bagian keluarga sendiri. Jangankan mengenal beberapa orang penting atau kaya, saya serta akan menghindar bila mereka merapat.

Selanjutnya, yang dapat saya beri ialah jawaban menangkis yang standard serta terdengar kurang ajar, tetapi di saat yang sama menentramkan: "Ya, inilah penulis."

***

Harapan: Jadi manusia yang berbakti pada ke-2 orang-tua serta berbakti pada bangsa, negara, serta agama.

Demikian saya biasa isi kolom harapan, bila itu diperlukan, mulai dari SD sampai hampir lulus SMA. Serta saya percaya hal sama dilaksanakan oleh juta-an anak Indonesia yang pengetahuannya mengenai karier benar-benar terbatas, sekaligus juga yang berasa jika harapan ialah suatu hal yang asing serta absurd. Kemungkinan sebab harapan itu terdengar generik serta kekanakan, sesaat saya ketahui beberapa rekan akrab mulai mempunyai arah hidup yang benar-benar detil, seperti "jadi Pimpinan Redaksi Republika" atau "Pelatih Persebaya", di buku alumni SMA saya mengganti harapan saya: "Ingin jadi kaya segala hal". Semakin singkat sekaligus juga berkesan semakin material, tetapi jelas terdengar semakin lebih absurd.

"Bermanfaat", kecuali "berbakti", menghantui hidup saya serta umumnya anak Indonesia di generasi saya (serta mungkin saja generasi awalnya serta generasi yang semakin belakangan), serta itu bukanlah tanpa ada keterangan. Ya, ini berlangsung dengan cara universal, tetapi Indonesia punyai hal lebih dari pada lainnya. Kita dikelilingi oleh beberapa hal yang membimbing, seringkali lagi tuntut, untuk memprioritaskan sikap altruis. Tidak cuma agama, negara (melalui pendidikan) tetap menyarankan kita lakukan hal itu—dan mempersalahkan atau memberi hukuman bila tidak melakukan. Melihat kembali lagi formasi posisi dalam harapan itu, begitu teraturnya. Itu memvisualisasikan hampir segala hal. Serta karenanya ialah satu harapan template, tentunya ada yang mengajari murid-murid jenis kami untuk menuliskan.

Di waktu saya sekolah, yang masih tetap mencecap Penataran P-4 serta mata pelajaran Pendidikan Kepribadian Pancasila (PMP), pertanyaan seperti "Ikhlas berkorban adalah implikasi Pancasila ke […] serta butir ke […]" ialah suatu hal yang benar-benar dekat. Belum juga pertanyaan-pertanyaan esai yang membuat panduan keselamatan pesawat terbang (supaya memprioritaskan keselamatan diri sebelum keselamatan seseorang) jadi terdengar imoral. Pengalaman-pengalaman berikut yang membuat seseorang (dahulu guru PMP serta saat ini kemungkinan bagian keluarga kita, yang mendapatkan cerapan pendidikan/info yang sama) punyai tempat kepribadian tinggi untuk tuntut. Tetapi, yang seringkali semakin tidak tertanggungkan ialah bila tuntutan itu tiba dari diri kita.

Walau benar-benar jelek dalam pelajaran Pancasila, desakan-desakan untuk berlaku altruis itu bukanlah tidak berbekas pada saya—melengkapi hadis-hadis serta beberapa kata mutiara bahasa Arab yang gampang dihapal tetapi benar-benar susah untuk diterapkan itu. Saya hidup seperti pertapa di waktu remaja sebab mengharap itu "bermanfaat" buat ke-2 orang-tua, buat agama. Saya tidak sempat mencapai warung kopi di waktu SMA karenanya tidak saja tidak pas untuk santri, dan juga sebab boros—dan boros ialah sisi dari akhlak nista. Tidak merokok sebetulnya biasa serta mudah saja, tetapi sebab ibu saya demikian membanggakannya, karena itu saya mengglorifikasinya untuk sisi dari kesalehan.

Saat di umur kuliah, saya ingin meningkatkan ke-"bermanfaat"-an saya untuk warga yang semakin luas serta, kembali lagi, untuk agama. Saya sekian tahun tinggal di masjid, jadi muazin, kadang-kadang jadi imam salat serta naik mimbar, serta mengatur pengajian ibu-ibu. Saat selanjutnya berasa tidak berhasil, saya mengubahnya ke hal yang semakin duniawi, tetapi kurang mulianya. Kemungkinan orang-tua serta agama tidak dapat ambil manfaatnya, tetapi siapa tahu negara dan bangsa, semakin khusus lagi sastra Indonesia, dapat. Semenjak semester benar-benar awal, saya telah punyai "harapan" untuk "bersihkan nama sastra Indonesia" di golongan warga luas karena terkena "bacaan-bacaan berkualitas rendah". Jauh sebelum waktunya skripsi, saat kadang-kadang kirim cerpen ke Annida, saya telah pikirkan untuk bikin judul skripsi "Beberapa karya Freddy S. serta Mengakibatkan atas Pemahaman Jelek Warga pada Novel Indonesia". Hmm… mulia sekali, kan? Mujur, beberapa karya Kuntowijoyo yang bersahaja serta Teori Stanton yang kuno itu selamatkan saya dari jadi seorang moralis utopis sekaligus juga usaha lemparkan diri ke kobaran api.

Tetapi, tekanan itu belum selesai serta saat saya perlu luntang-lantung di Jakarta, beralih dari satu kos rekan ke kos rekan lainnya. Sedikit kekuatan menulis membuat harapan "selamatkan sastra Indonesia" itu masih menggantung di kening, walau usaha mencibir serta menyepelekan bukanlah tidak sempat saya kerjakan. Tidak berhasil keseluruhan untuk perantau di Jakarta, saya selanjutnya menyemai harapan itu dalam suatu pabrik buku pelajaran di Klaten, walau maksudnya sedikit membelok. Untuk karyawan yang dibayar untuk menulis buku pelajaran Riwayat Kebudayaan Islam, yang pertama ingin saya kerjakan ialah mengganti langkah menulis buku pelajaran riwayat yang menjemukan. Tutorial kurikulum yang bukan main jeleknya juga saya musuh. Saya banyak membaca buku riwayat Islam, dari yang babon-babon sampai yang mudah, untuk bikin buku pelajaran yang "bermanfaat" buat beberapa anak, supaya mereka nantinya jadi orang yang "bermanfaat buat nusa bangsa serta agama". Saat selanjutnya buku saya ialah buku paling anjlok penjualannya, saya serta masih mampu menghibur diri: "Bila dari beberapa ratus buku yang terjual, ada satu-dua buku yang membangkitkan satu-dua anak menjadi pembaca yang baik, pencinta riwayat yang bersungguh-sungguh, karena itu pekerjaan saya telah berhasil; buku itu telah ‘berguna'." Sebab lihat ke-"bermanfaat"-an buku/tulisan dapat benar-benar nyata sekaligus juga abstrak, dapat benar-benar detil tetapi dapat juga benar-benar luas, serta karenanya susah diukur, karena itu arah "bermanfaat" untuk buku pelajaran ini saya modifikasi sedikit saat novel pertama saya selesai. Lalu hal sama, dengan modifikasi lainnya lagi, saya kerjakan untuk novel selanjutnya lagi. Serta, ujungnya, Anda ketahui, saya tidak sempat betul-betul tahu bagaimana menghitungnya.

Kemungkinan sebab ketakterukurannya, selanjutnya saya tidak betul-betul percaya dengan yang awalnya saya yakini. Saya mulai coba menkonkretkan ke-"bermanfaat"-an itu. Bersama-sama seorang rekan, saya membuat perpustakaan di desa. Supaya "bermanfaat" bukan saja buat negara dan bangsa dan juga agama, perpustakaan itu saya simpan di masjid. Semangat kami besar sekali, tidak kurang dari beberapa aktivis literasi saat ini. Kecuali mengedarkan proposal ke banyak rekan yang saya mengenal serta penerbit yang saya dapat tembus, saya menyisihkan hal paling jelas "bermanfaat" hasil dari menulis saya: uang. Tentunya tidak banyak, sebab menulis tidak memberikan saya uang banyak, walau jika ditotal bisa jadi jauh semakin besar dari royalti novel saya yang sangat laku semasa satu tahun. (Ditambah separoh semakin buku koleksi pribadi yang saya bawa serta pulang, kemungkinan semakin besar lagi jika itu diuangkan.) Bulan-bulan awal, lihat semangat bocah-bocah yang bergabung, bermain, serta membaca, serta khususnya menanyakan, saya berasa jika apakah yang saya kerjakan mulai nampak bermanfaat (tanpa ada sinyal kutip). Tetapi cuma menanti beberapa waktu selanjutnya, sama seperti yang saya sangka, saya kembali lagi hadapi fakta jika jadi "bermanfaat" itu tidak mudah, ditambah lagi dengan tidak banyak disetujui orang—katakanlah dengan membaca. Serta di titik ini, saya perlu mengulang-ulang penghiburan lama saya, kembali lagi dengan sedikit modifikasi: "Jika ada satu atau dua anak saja sebagai pembaca yang baik, karena itu perpustakaan itu telah ‘berguna'".

Kemungkinan karenanya, saya mulai mengurangi desakan pada diri kita menjadi "bermanfaat", serta mulai lakukan beberapa hal yang tidak begitu bermanfaat. Saya ajak seseorang melihat film India segigih seorang pencinta lingkungan mengatakan pelestarian terumbu karang; saya menulis sepakbola semenggebu sekaligus juga seikhlas Yusuf Mansyur menyarankan sedekah. Selama ini, minimnya intensi untuk "bermanfaat" sangat bermanfaat. Walau masih tidak mempunyai tujuan, saya berasa hidup bertambah baikan. Kepala bertambah mudah.

Saat dalam suatu acara tonton bersama di Jombang penyair Binhad Nurrohmat menanyakan, apa arah saya menulis serta ajak tonton film India, dengan benar-benar mudah saya dapat jawab: "Untuk bersenang-senang." Selain itu, minimal, saya tidak akan mendapatkan beberapa mahasiswa Pengetahuan Keguruan kerjakan pekerjaan kuliah atau skripsi dengan mengulik pesan kepribadian serta mandat dari buku-buku saya mengenai film India serta sepakbola, seperti pada novel-novel saya.

Telah lama saya mengusahakan menghindar dari satu hadis yang berat ke hadis lain yang kemungkinan semakin mudah; dari "sebagus-baik manusia ialah yang berguna buat manusia yang lain" ke "seorang muslim ialah ia yang seseorang berasa darah serta hartanya aman darinya." Sebab saya tidak berpotensi jadi pembunuh, serta tidak punyai cukup keberanian untuk mencuri, saya berasa hadis yang paling akhir memungkinkan untuk digerakkan. Dalam kalimat lain, walau tidak begitu "bermanfaat" saya sedikit akan berasa lebih bagus bila tidak menyusahkan seseorang: pekerjaan saya tidak mencelakakan hak serta nyawa orang lain; ketetapan saya tidak menyebabkan jelek buat seseorang, dst.

"Jika kita tidak ingin menyusahkan seseorang, lalu bagaimanakah cara seseorang dapat menyusahkan kita?" tuntut seorang rekan. Serta dia terlihat benar-benar betul. Serta dia jadi makin betul saat memberikan tambahan: "Lagi juga, orang yang tidak ingin mengganggu seseorang akan dipandang mengganggu jika salah satu proses yang berlaku di masayarakat ialah sama-sama mengganggu keduanya. Itu ibarat kamu tidak turut bertepuk tangan sesaat orang seisi gedung bertempik sorak."

Dia betul. Serta saya salah. Serta tidak bermanfaat.

Terus apa? Kemungkinan saya seharusnya hidup saja, walau tidak berguna—seperti yang diserukan satu poster isolasi daerah dalam suatu kampung di Jogja, sebagai populer semasa epidemi. Itu terlihat tidak jelek. Efek paling besar paling dipandang fatalis. Jika mujur, kemungkinan kita dipandang rendah hati.

Lagi juga, di waktu ini, mati toh cuma akan memenuhi statistik saja.