"Sebagus-baik manusia ialah yang berguna buat manusia yang
lain." – al-Hadis
Walau tidak pulang kampung, saat-saat selesai Hari Raya
tetap membuat saya mengingat hadis di atas; hadis yang enak serta mudah dihapal
(serta versus Arabnya), tetapi sering jadi hantu dalam realisasinya. Kata
"mawas diri" atau muhasabah (jika ingin arti yang semakin agamawi),
sebagai benar-benar terkenal di selama Ramadan sampai jauh sesudah 1 Syawal,
akan menggerakkan kita mengarah yang semakin ruhaniah: amal apakah yang telah
kita lakukan, dosa apa serta pada siapa yang telah kerjakan, dst. Tetapi, di
saat yang sama, sebetulnya, kata itu seringkali dengan terus-terang merongrong
dengan cara fisikal serta sosial: apakah yang telah kita kerjakan untuk diri
kita, apakah yang telah kita kerjakan untuk keluarga, sampai (yang sangat berat)
apakah yang telah kita kerjakan untuk warga. Bertepatan dengan pertanyaan
basa-basi standard yang umum dilemparkan orang waktu beranjangsana, baik bagian
keluarga atau semata-mata orang yang kita mengenal ("kerja dimana saat
ini", "kamu kapan", "anakmu telah berapakah",
"pulang naik apa", "ponakanmu kamu kasih apa",
"bapak-ibu telah pada tua, waktu kamu begitu saja", "apakah yang
telah kamu kerjakan untuk Muhammadiyah", dst.) memaksakan kita menanyakan
apa peranan kita buat dunia di luar kita, baik yang kecil atau yang semakin
besar.
Sejauh ini yang kita dengar ialah beberapa keluhan mereka
yang berada di tempat atau diposisikan inferior. Mereka yang tidak berhasil
dengan cara akademik, tidak sukses dengan cara finansial, kurang mulus dalam
kehidupan, serta beberapa hal kurang yang lain, memang yang sangat rawan alami
desakan serta paling menanggung derita dari rongrongan masalah peranan serta
buat ini. Tetapi, terkadang yang disaksikan semakin superior tidak betul-betul
aman, ditambah lagi bila superioritasnya itu seutuhnya cuma berada di kepala
seseorang.
Saya, contohnya, yang alumnus kampus paling besar di
Indonesia, sempat kerja di Jakarta, lama tinggal di Jogja, kadang-kadang
menulis pada media, muka kadang-kadang muncul di koran, sebentar-sebentar didengar
keluarkan buku baru, tidak banyak bicara mengenai apakah yang saya kerjakan,
seringkali dipandang tetangga serta keluarga besar sembunyikan keberhasilan.
Asumsi itu tentunya semakin lebih menentramkan dibandingkan didakwa tutupi
ketidakberhasilan, tetapi tentunya hal tersebut bawa resiko. Dari berbasa-basi
sampai dengan suara serius, beberapa orang tiba untuk pinjam uang; dari mulai
jumlah yang logis sampai yang cuma dapat saya pikirkan bila saya memenangi
hadiah sastra tiap bulan. Di peluang lain, orang tiba minta tolong dicarikan
pekerjaan, bagus untuk dirinya atau untuk anggota keluarganya. Justru, sempat
seorang tetangga jauh, yang saya mengenal nama saja, tiba pada hari Lebaran
dengan bawa bermacam bungkusan, meminta pada saya untuk memuluskan kepentingan
anaknya dalam suatu kampus yang belum pernah saya mengenal, sama orang yang
namanya belum pernah saya dengar, dalam suatu kota yang belum pernah saya
kunjungi. Tentunya hampir kesemua orang itu sedih. Tidak saja sebab saya bukan
orang yang mereka pikirkan, tetapi sebab saya memang sungguh tidak mempunyai
kelebihan serta kekuatan untuk membantu mereka.
Saat menulis fiksi, saya biasa membanting keinginan
seseorang (pembaca), serta itu saya kerjakan secara rasa suka. Apesnya, saya
ternyata melakukan di kehidupan riil, serta kesempatan ini umumnya perlu saya
kerjakan secara rasa sesal. Jika saja penghasilan saya bulanan serta lumayan
besar, kemungkinan saya dapat semakin bermurah hati memberi pinjaman; jika saja
saya mengenal beberapa orang penting, bisa jadi saya semakin lebih gampang
membantu orang; jika saja saya punyai usaha yang semakin riil, atau punyai
akses pada satu-dua pebisnis, kemungkinan saya bisa menolong satu-dua famili
memperoleh pekerjaannya; serta jika saja jika saja lainnya. Tetapi, bagaimana
lagi, saya tidak punyai semuanya. Penghasilan saya 1/2 tahun sekali, itu juga
tidak dapat dinyatakan. Pekerjaaan saya masih susah diterangkan, serta pada
bagian keluarga sendiri. Jangankan mengenal beberapa orang penting atau kaya,
saya serta akan menghindar bila mereka merapat.
Selanjutnya, yang dapat saya beri ialah jawaban menangkis
yang standard serta terdengar kurang ajar, tetapi di saat yang sama
menentramkan: "Ya, inilah penulis."
***
Harapan: Jadi manusia yang berbakti pada ke-2 orang-tua
serta berbakti pada bangsa, negara, serta agama.
Demikian saya biasa isi kolom harapan, bila itu diperlukan,
mulai dari SD sampai hampir lulus SMA. Serta saya percaya hal sama dilaksanakan
oleh juta-an anak Indonesia yang pengetahuannya mengenai karier benar-benar
terbatas, sekaligus juga yang berasa jika harapan ialah suatu hal yang asing
serta absurd. Kemungkinan sebab harapan itu terdengar generik serta kekanakan,
sesaat saya ketahui beberapa rekan akrab mulai mempunyai arah hidup yang
benar-benar detil, seperti "jadi Pimpinan Redaksi Republika" atau
"Pelatih Persebaya", di buku alumni SMA saya mengganti harapan saya:
"Ingin jadi kaya segala hal". Semakin singkat sekaligus juga berkesan
semakin material, tetapi jelas terdengar semakin lebih absurd.
"Bermanfaat", kecuali "berbakti",
menghantui hidup saya serta umumnya anak Indonesia di generasi saya (serta
mungkin saja generasi awalnya serta generasi yang semakin belakangan), serta
itu bukanlah tanpa ada keterangan. Ya, ini berlangsung dengan cara universal,
tetapi Indonesia punyai hal lebih dari pada lainnya. Kita dikelilingi oleh
beberapa hal yang membimbing, seringkali lagi tuntut, untuk memprioritaskan
sikap altruis. Tidak cuma agama, negara (melalui pendidikan) tetap menyarankan
kita lakukan hal itu—dan mempersalahkan atau memberi hukuman bila tidak melakukan.
Melihat kembali lagi formasi posisi dalam harapan itu, begitu teraturnya. Itu
memvisualisasikan hampir segala hal. Serta karenanya ialah satu harapan
template, tentunya ada yang mengajari murid-murid jenis kami untuk menuliskan.
Di waktu saya sekolah, yang masih tetap mencecap Penataran
P-4 serta mata pelajaran Pendidikan Kepribadian Pancasila (PMP), pertanyaan
seperti "Ikhlas berkorban adalah implikasi Pancasila ke […] serta butir ke
[…]" ialah suatu hal yang benar-benar dekat. Belum juga pertanyaan-pertanyaan
esai yang membuat panduan keselamatan pesawat terbang (supaya memprioritaskan
keselamatan diri sebelum keselamatan seseorang) jadi terdengar imoral.
Pengalaman-pengalaman berikut yang membuat seseorang (dahulu guru PMP serta
saat ini kemungkinan bagian keluarga kita, yang mendapatkan cerapan
pendidikan/info yang sama) punyai tempat kepribadian tinggi untuk tuntut.
Tetapi, yang seringkali semakin tidak tertanggungkan ialah bila tuntutan itu
tiba dari diri kita.
Walau benar-benar jelek dalam pelajaran Pancasila,
desakan-desakan untuk berlaku altruis itu bukanlah tidak berbekas pada
saya—melengkapi hadis-hadis serta beberapa kata mutiara bahasa Arab yang
gampang dihapal tetapi benar-benar susah untuk diterapkan itu. Saya hidup
seperti pertapa di waktu remaja sebab mengharap itu "bermanfaat" buat
ke-2 orang-tua, buat agama. Saya tidak sempat mencapai warung kopi di waktu SMA
karenanya tidak saja tidak pas untuk santri, dan juga sebab boros—dan boros
ialah sisi dari akhlak nista. Tidak merokok sebetulnya biasa serta mudah saja,
tetapi sebab ibu saya demikian membanggakannya, karena itu saya
mengglorifikasinya untuk sisi dari kesalehan.
Saat di umur kuliah, saya ingin meningkatkan
ke-"bermanfaat"-an saya untuk warga yang semakin luas serta, kembali
lagi, untuk agama. Saya sekian tahun tinggal di masjid, jadi muazin,
kadang-kadang jadi imam salat serta naik mimbar, serta mengatur pengajian
ibu-ibu. Saat selanjutnya berasa tidak berhasil, saya mengubahnya ke hal yang
semakin duniawi, tetapi kurang mulianya. Kemungkinan orang-tua serta agama
tidak dapat ambil manfaatnya, tetapi siapa tahu negara dan bangsa, semakin
khusus lagi sastra Indonesia, dapat. Semenjak semester benar-benar awal, saya
telah punyai "harapan" untuk "bersihkan nama sastra Indonesia"
di golongan warga luas karena terkena "bacaan-bacaan berkualitas
rendah". Jauh sebelum waktunya skripsi, saat kadang-kadang kirim cerpen ke
Annida, saya telah pikirkan untuk bikin judul skripsi "Beberapa karya
Freddy S. serta Mengakibatkan atas Pemahaman Jelek Warga pada Novel
Indonesia". Hmm… mulia sekali, kan? Mujur, beberapa karya Kuntowijoyo yang
bersahaja serta Teori Stanton yang kuno itu selamatkan saya dari jadi seorang
moralis utopis sekaligus juga usaha lemparkan diri ke kobaran api.
Tetapi, tekanan itu belum selesai serta saat saya perlu
luntang-lantung di Jakarta, beralih dari satu kos rekan ke kos rekan lainnya.
Sedikit kekuatan menulis membuat harapan "selamatkan sastra
Indonesia" itu masih menggantung di kening, walau usaha mencibir serta menyepelekan
bukanlah tidak sempat saya kerjakan. Tidak berhasil keseluruhan untuk perantau
di Jakarta, saya selanjutnya menyemai harapan itu dalam suatu pabrik buku
pelajaran di Klaten, walau maksudnya sedikit membelok. Untuk karyawan yang
dibayar untuk menulis buku pelajaran Riwayat Kebudayaan Islam, yang pertama
ingin saya kerjakan ialah mengganti langkah menulis buku pelajaran riwayat yang
menjemukan. Tutorial kurikulum yang bukan main jeleknya juga saya musuh. Saya
banyak membaca buku riwayat Islam, dari yang babon-babon sampai yang mudah,
untuk bikin buku pelajaran yang "bermanfaat" buat beberapa anak,
supaya mereka nantinya jadi orang yang "bermanfaat buat nusa bangsa serta
agama". Saat selanjutnya buku saya ialah buku paling anjlok penjualannya,
saya serta masih mampu menghibur diri: "Bila dari beberapa ratus buku yang
terjual, ada satu-dua buku yang membangkitkan satu-dua anak menjadi pembaca
yang baik, pencinta riwayat yang bersungguh-sungguh, karena itu pekerjaan saya
telah berhasil; buku itu telah ‘berguna'." Sebab lihat
ke-"bermanfaat"-an buku/tulisan dapat benar-benar nyata sekaligus
juga abstrak, dapat benar-benar detil tetapi dapat juga benar-benar luas, serta
karenanya susah diukur, karena itu arah "bermanfaat" untuk buku
pelajaran ini saya modifikasi sedikit saat novel pertama saya selesai. Lalu hal
sama, dengan modifikasi lainnya lagi, saya kerjakan untuk novel selanjutnya
lagi. Serta, ujungnya, Anda ketahui, saya tidak sempat betul-betul tahu
bagaimana menghitungnya.
Kemungkinan sebab ketakterukurannya, selanjutnya saya tidak
betul-betul percaya dengan yang awalnya saya yakini. Saya mulai coba
menkonkretkan ke-"bermanfaat"-an itu. Bersama-sama seorang rekan,
saya membuat perpustakaan di desa. Supaya "bermanfaat" bukan saja
buat negara dan bangsa dan juga agama, perpustakaan itu saya simpan di masjid.
Semangat kami besar sekali, tidak kurang dari beberapa aktivis literasi saat
ini. Kecuali mengedarkan proposal ke banyak rekan yang saya mengenal serta
penerbit yang saya dapat tembus, saya menyisihkan hal paling jelas
"bermanfaat" hasil dari menulis saya: uang. Tentunya tidak banyak,
sebab menulis tidak memberikan saya uang banyak, walau jika ditotal bisa jadi
jauh semakin besar dari royalti novel saya yang sangat laku semasa satu tahun.
(Ditambah separoh semakin buku koleksi pribadi yang saya bawa serta pulang,
kemungkinan semakin besar lagi jika itu diuangkan.) Bulan-bulan awal, lihat
semangat bocah-bocah yang bergabung, bermain, serta membaca, serta khususnya
menanyakan, saya berasa jika apakah yang saya kerjakan mulai nampak bermanfaat
(tanpa ada sinyal kutip). Tetapi cuma menanti beberapa waktu selanjutnya, sama
seperti yang saya sangka, saya kembali lagi hadapi fakta jika jadi
"bermanfaat" itu tidak mudah, ditambah lagi dengan tidak banyak disetujui
orang—katakanlah dengan membaca. Serta di titik ini, saya perlu mengulang-ulang
penghiburan lama saya, kembali lagi dengan sedikit modifikasi: "Jika ada
satu atau dua anak saja sebagai pembaca yang baik, karena itu perpustakaan itu
telah ‘berguna'".
Kemungkinan karenanya, saya mulai mengurangi desakan pada
diri kita menjadi "bermanfaat", serta mulai lakukan beberapa hal yang
tidak begitu bermanfaat. Saya ajak seseorang melihat film India segigih seorang
pencinta lingkungan mengatakan pelestarian terumbu karang; saya menulis
sepakbola semenggebu sekaligus juga seikhlas Yusuf Mansyur menyarankan sedekah.
Selama ini, minimnya intensi untuk "bermanfaat" sangat bermanfaat.
Walau masih tidak mempunyai tujuan, saya berasa hidup bertambah baikan. Kepala
bertambah mudah.
Saat dalam suatu acara tonton bersama di Jombang penyair
Binhad Nurrohmat menanyakan, apa arah saya menulis serta ajak tonton film
India, dengan benar-benar mudah saya dapat jawab: "Untuk
bersenang-senang." Selain itu, minimal, saya tidak akan mendapatkan
beberapa mahasiswa Pengetahuan Keguruan kerjakan pekerjaan kuliah atau skripsi
dengan mengulik pesan kepribadian serta mandat dari buku-buku saya mengenai
film India serta sepakbola, seperti pada novel-novel saya.
Telah lama saya mengusahakan menghindar dari satu hadis yang
berat ke hadis lain yang kemungkinan semakin mudah; dari "sebagus-baik
manusia ialah yang berguna buat manusia yang lain" ke "seorang muslim
ialah ia yang seseorang berasa darah serta hartanya aman darinya." Sebab
saya tidak berpotensi jadi pembunuh, serta tidak punyai cukup keberanian untuk
mencuri, saya berasa hadis yang paling akhir memungkinkan untuk digerakkan.
Dalam kalimat lain, walau tidak begitu "bermanfaat" saya sedikit akan
berasa lebih bagus bila tidak menyusahkan seseorang: pekerjaan saya tidak
mencelakakan hak serta nyawa orang lain; ketetapan saya tidak menyebabkan jelek
buat seseorang, dst.
"Jika kita tidak ingin menyusahkan seseorang, lalu
bagaimanakah cara seseorang dapat menyusahkan kita?" tuntut seorang rekan.
Serta dia terlihat benar-benar betul. Serta dia jadi makin betul saat
memberikan tambahan: "Lagi juga, orang yang tidak ingin mengganggu
seseorang akan dipandang mengganggu jika salah satu proses yang berlaku di
masayarakat ialah sama-sama mengganggu keduanya. Itu ibarat kamu tidak turut
bertepuk tangan sesaat orang seisi gedung bertempik sorak."
Dia betul. Serta saya salah. Serta tidak bermanfaat.
Terus apa? Kemungkinan saya seharusnya hidup saja, walau
tidak berguna—seperti yang diserukan satu poster isolasi daerah dalam suatu
kampung di Jogja, sebagai populer semasa epidemi. Itu terlihat tidak jelek.
Efek paling besar paling dipandang fatalis. Jika mujur, kemungkinan kita
dipandang rendah hati.
Lagi juga, di waktu ini, mati toh cuma akan memenuhi
statistik saja.