Agama tetap akan ada, tapi beberapa pikiran yang melawan
agama serta kehadiran Tuhan akan terus ada.
Manusia mempunyai kepribadian yang menarik, yakni condong
"tergesa-gesa" untuk meloncat pada satu simpulan berdasar data-data
yang terbatas. Pemikiran manusia mempunyai tipuan-tipuan "rasional"
yang umum disebutkan dengan "fallacy". Ini kecondongan yang alami.
Untungnya, simpulan yang cepat-cepat umumnya langsung
dikoreksi oleh simpulan lain, atau oleh data empiris. Dengan demikian
pengetahuan manusia alami perkembangan setindak untuk setindak.
Salah satunya misalnya ialah perkiraan jika agama akan
"mati" oleh pencerahan logis yang tiba dari Eropa Barat, oleh langkah
memikir baru yang saintifik, oleh cara pengetahuan kekinian yang positivistik.
Sarjana-sarjana besar yang dipandang seperti pendiri
sosiologi serta psikologi modern—August Comte, Herbert Spencer, Émile Durkheim,
Max Weber, Karl Marx, Sigmund Freud—meramalkan jika agama akan turun, bila
tidak justru hilang benar-benar dengan hadirnya warga industrial.
Teori sekularisasi yang menguasai sampai tahun 70an
meramalkan: jika beberapa proses modernisasi dalam warga tradisionil akan
membuat agama tertekan ke tepian.
Untuk sesaat, perkiraan ini betul, sampai waktu spesifik.
Tapi perkembangan-perkembangan terakhir memperlihatkan jika agama tidak mati,
tidak tertekan ke tepian, serta memperlihatkan tanda-tanda kebangkitan kembali
lagi serta mulai merampas "ruangan tengah" dalam warga kekinian.
Pakar pengetahuan politik Perancis, Olivier Roy, sempat
menyebutkan tanda-tanda ini untuk "la revanche du Dieu," pembalasan
sakit hati oleh Tuhan. Semenjak dasawarsa 70an, berlangsung tren global yang
memberikan indikasi kembalinya agama ke tengahnya warga, termasuk juga di Barat
sendiri.
Lalu, bagaimana dengan hari esok agama?
Saya pasti tidak dapat meramalkan apakah yang akan
berlangsung di waktu depan. Tapi bila saya diwajibkan membuat seperti perkiraan
(serta mudah-mudahan saya tidak masuk ke perangkap keterburu-buruan di sini !),
karena itu berikut yang dapat yang dapat saya sebutkan: jika baik
teokrasi-keras maupun sekularisasi keseluruhan, tidak akan berlangsung kapan
saja.
Ada dua faksi yang akan dikecewakan riwayat. Yang pertama
ialah mereka yang "punya mimpi" jika dunia dapat dikalahkan seutuhnya
di bawah kendali agama, serta manusia dipaksakan semuanya untuk ikuti
"hukum Tuhan" seperti mereka definisikan.
Berikut mimpi yang dalam memiliki bentuk yang sangat vulgar
dipunyai oleh ISIS serta simpatisannya. Mereka punya mimpi dapat memutar
riwayat dunia dengan cara radikal serta menegakkan "teokrasi" yang
keras seperti sempat berlangsung di waktu lampau. (Untuk catatan: teokrasi atau
khilafah yang mereka pikirkan itu belum pernah berlangsung kapan saja dalam
riwayat Islam, termasuk juga pada saat Kanjeng Nabi sendiri!).
Yang ke-2 ialah mereka yang punya mimpi jika dunia dapat
dibikin bersih semuanya dari "metafiska tradisionil," dari agama,
dari Tuhan. Dalam kata lain, dunia yang disekularisasikan in toto. Barisan
sekularis-keras ini mempunyai satu deskripsi dunia bagus dimana manusia
semuanya bisa menjadi "logis," melakukan tindakan atas fundamen
pertimbangan-pertimbangan akal, tanpa ada menyertakan alasan yang berbentuk
transendental, ilahiah.
Ke-2 "mimpi" ini, menurut saya, tidak pernah
berlangsung. Ide semacam ini tetap akan stop untuk "utopia" yang
tidak akan mewujud di bumi. Baik golongan yang menginginkan tegaknya teokrasi
serta berkuasanya hukum Tuhan dengan cara penuh dari muka bumi, atau golongan
yang inginkan bumi yang dibikin bersih semuanya dari Tuhan – kedua-duanya akan
dikecewakan oleh riwayat.
Agama tetap akan ada, tapi beberapa pikiran yang melawan
agama serta kehadiran Tuhan akan terus ada. Agama serta sekularisme (dalam
beberapa memiliki bentuk: yang keras atau lunak) tetap akan ada, serta hidup
berdampingan.
Ke-2 "modus hidup" ini, yakni modus hidup yang
berketuhanan (teistik) serta modus yang sekularistik, akan ada sampai kapan
saja. Malah, bila memakai langkah pandang yang "unitive" seperti saya
catat dalam sisi lalu, kesetimbangan alam malah memerlukan ke-2 modus hidup
ini.
Baik modus hidup yang relijius atau sekular, dalam langkah
pandang ontologis atau wujudiah (bukan dengan cara teologis !), ialah sisi dari
"iradah" atau kehendak Tuhan. Dengan cara teologis serta moral-etis,
Tuhan jelas tidak memerintah (al-amr) manusia untuk menyanggah kehadiran-Nya.
Tapi dengan cara ontologis, Tuhan "menginginkan" dunia yang
didalamnya berbagai-bagai: ada yang beriman, ada yang tidak. Ke-2 tipe manusia
ini mempunyai manfaatnya semasing dalam "the grand scheme of things".
Dengan pandangan semacam ini, kita, untuk manusia beriman,
tak perlu resah bila ada yang menyanggah kehadiran Tuhan, serta menafikan
agama. Seorang beriman yang lihat segalanya untuk aktualisasi af‘al atau aksi
Tuhan, tidak akan resah dengan keragaman yang berada di dunia, termasuk juga
keragaman langkah hidup.
Agama akan ada, tapi kritikan atas agama akan ada. Semasing
tidak bisa menghancurkan lainnya. Riwayat dunia tidak dipastikan dengan cara
"linier" oleh satu corak "keimanan" spesifik.