Rabu, 03 Juni 2020

Masa Depan Agama-agama Dunia

Agama tetap akan ada, tapi beberapa pikiran yang melawan agama serta kehadiran Tuhan akan terus ada.

Manusia mempunyai kepribadian yang menarik, yakni condong "tergesa-gesa" untuk meloncat pada satu simpulan berdasar data-data yang terbatas. Pemikiran manusia mempunyai tipuan-tipuan "rasional" yang umum disebutkan dengan "fallacy". Ini kecondongan yang alami.

Untungnya, simpulan yang cepat-cepat umumnya langsung dikoreksi oleh simpulan lain, atau oleh data empiris. Dengan demikian pengetahuan manusia alami perkembangan setindak untuk setindak.

Salah satunya misalnya ialah perkiraan jika agama akan "mati" oleh pencerahan logis yang tiba dari Eropa Barat, oleh langkah memikir baru yang saintifik, oleh cara pengetahuan kekinian yang positivistik.

Sarjana-sarjana besar yang dipandang seperti pendiri sosiologi serta psikologi modern—August Comte, Herbert Spencer, Émile Durkheim, Max Weber, Karl Marx, Sigmund Freud—meramalkan jika agama akan turun, bila tidak justru hilang benar-benar dengan hadirnya warga industrial.

Teori sekularisasi yang menguasai sampai tahun 70an meramalkan: jika beberapa proses modernisasi dalam warga tradisionil akan membuat agama tertekan ke tepian.

Untuk sesaat, perkiraan ini betul, sampai waktu spesifik. Tapi perkembangan-perkembangan terakhir memperlihatkan jika agama tidak mati, tidak tertekan ke tepian, serta memperlihatkan tanda-tanda kebangkitan kembali lagi serta mulai merampas "ruangan tengah" dalam warga kekinian.

Pakar pengetahuan politik Perancis, Olivier Roy, sempat menyebutkan tanda-tanda ini untuk "la revanche du Dieu," pembalasan sakit hati oleh Tuhan. Semenjak dasawarsa 70an, berlangsung tren global yang memberikan indikasi kembalinya agama ke tengahnya warga, termasuk juga di Barat sendiri.

Lalu, bagaimana dengan hari esok agama?

Saya pasti tidak dapat meramalkan apakah yang akan berlangsung di waktu depan. Tapi bila saya diwajibkan membuat seperti perkiraan (serta mudah-mudahan saya tidak masuk ke perangkap keterburu-buruan di sini !), karena itu berikut yang dapat yang dapat saya sebutkan: jika baik teokrasi-keras maupun sekularisasi keseluruhan, tidak akan berlangsung kapan saja.

Ada dua faksi yang akan dikecewakan riwayat. Yang pertama ialah mereka yang "punya mimpi" jika dunia dapat dikalahkan seutuhnya di bawah kendali agama, serta manusia dipaksakan semuanya untuk ikuti "hukum Tuhan" seperti mereka definisikan.

Berikut mimpi yang dalam memiliki bentuk yang sangat vulgar dipunyai oleh ISIS serta simpatisannya. Mereka punya mimpi dapat memutar riwayat dunia dengan cara radikal serta menegakkan "teokrasi" yang keras seperti sempat berlangsung di waktu lampau. (Untuk catatan: teokrasi atau khilafah yang mereka pikirkan itu belum pernah berlangsung kapan saja dalam riwayat Islam, termasuk juga pada saat Kanjeng Nabi sendiri!).

Yang ke-2 ialah mereka yang punya mimpi jika dunia dapat dibikin bersih semuanya dari "metafiska tradisionil," dari agama, dari Tuhan. Dalam kata lain, dunia yang disekularisasikan in toto. Barisan sekularis-keras ini mempunyai satu deskripsi dunia bagus dimana manusia semuanya bisa menjadi "logis," melakukan tindakan atas fundamen pertimbangan-pertimbangan akal, tanpa ada menyertakan alasan yang berbentuk transendental, ilahiah.

Ke-2 "mimpi" ini, menurut saya, tidak pernah berlangsung. Ide semacam ini tetap akan stop untuk "utopia" yang tidak akan mewujud di bumi. Baik golongan yang menginginkan tegaknya teokrasi serta berkuasanya hukum Tuhan dengan cara penuh dari muka bumi, atau golongan yang inginkan bumi yang dibikin bersih semuanya dari Tuhan – kedua-duanya akan dikecewakan oleh riwayat.

Agama tetap akan ada, tapi beberapa pikiran yang melawan agama serta kehadiran Tuhan akan terus ada. Agama serta sekularisme (dalam beberapa memiliki bentuk: yang keras atau lunak) tetap akan ada, serta hidup berdampingan.

Ke-2 "modus hidup" ini, yakni modus hidup yang berketuhanan (teistik) serta modus yang sekularistik, akan ada sampai kapan saja. Malah, bila memakai langkah pandang yang "unitive" seperti saya catat dalam sisi lalu, kesetimbangan alam malah memerlukan ke-2 modus hidup ini.

Baik modus hidup yang relijius atau sekular, dalam langkah pandang ontologis atau wujudiah (bukan dengan cara teologis !), ialah sisi dari "iradah" atau kehendak Tuhan. Dengan cara teologis serta moral-etis, Tuhan jelas tidak memerintah (al-amr) manusia untuk menyanggah kehadiran-Nya. Tapi dengan cara ontologis, Tuhan "menginginkan" dunia yang didalamnya berbagai-bagai: ada yang beriman, ada yang tidak. Ke-2 tipe manusia ini mempunyai manfaatnya semasing dalam "the grand scheme of things".

Dengan pandangan semacam ini, kita, untuk manusia beriman, tak perlu resah bila ada yang menyanggah kehadiran Tuhan, serta menafikan agama. Seorang beriman yang lihat segalanya untuk aktualisasi af‘al atau aksi Tuhan, tidak akan resah dengan keragaman yang berada di dunia, termasuk juga keragaman langkah hidup.

Agama akan ada, tapi kritikan atas agama akan ada. Semasing tidak bisa menghancurkan lainnya. Riwayat dunia tidak dipastikan dengan cara "linier" oleh satu corak "keimanan" spesifik.