Tiap akidah tetap dirumuskan dalam jaman spesifik, dengan
tantangan-tantangannya yang ciri khas. Karenanya, langkah akidah dirumuskan
serta diartikulasikan harus juga dinamis, bertumbuh ikuti jaman yang terus
beralih, walau content-nya berbentuk masih, tidak beralih.
Tentunya tidak semua komponen dalam akidah berbentuk
"cair", beralih terus. Pokok-pokok dalam akidah pasti berbentuk
masih, permanen. Akidah tauhid, keyakinan kita mengenai Tuhan yang
"ahad," esa, tidak beralih sampai kapan juga.
Begitupun akidah tentang beberapa nama serta karakter-sifat
Tuhan seperti diterangkan dalam Qur'an serta hadis, tidak akan beralih. Akidah
tentang kenabian, serta ajaran-ajaran inti yang dibawa oleh Kanjeng Nabi,
khususnya yang terkait dengan "ghaibiyyat" (beberapa hal yang
berkaitan dengan kehidupan sesudah mati), berbentuk masih.
Yang beralih ialah langkah manusia memberi rumusan pada
akidah itu; bagaimana dia diutarakan di jaman spesifik. Contoh simpel: Alasan
tentang kehadiran Tuhan (wujudu-l-Lah) seperti dirumuskan oleh beberapa
mutakallimun, pakar teologi Islam, di jaman classic dahulu, jelas berkaitan
dengan pengetahuan mereka di jaman itu.
Beberapa komponen dalam alasan tentang kehadiran Tuhan dalam
pengetahuan kalam classic dipinjam dari filsafat Yunani (contohnya mengenai
kelompok "harus" serta "mumkin"). Untuk menunjukkan ada
Tuhan, kita tidak perlu memakai alasan-argumen semacam ini selama-lamanya.
Alasan yang digunakan oleh ulama classic bukan sisi dari
inti akidah; yang disebut akidah ialah kepercayaan mengenai ada Tuhan tersebut.
Bagaimana alasan kehadiran Tuhan diatur, itu dapat beralih dari sekian waktu,
sesuai perubahan pengetahuan manusia yang ada di waktu itu.
Salah satunya hal yang kurang memperoleh perhatian dalam
rumusan akidah Islam classic ialah bagaimana rekanan Islam dengan agama-agama
lainnya. Rumusan akidah kita tentang topik ini perlu ditingkatkan semakin jauh
kembali, sebab kita hidup di di dunia yang semakin "lintas batas,"
borderless. Berikut kerangka yang tidak ada di waktu akidah Asy‘ariyyah
dirumuskan dulu.
Sekarang ini, kita tidak dapat lagi berlagakma serta
berakidah dengan meremehkan fakta jika di luar sana ada agama-agama lain yang
dipercaya oleh beberapa pemeluknya untuk "jalan kebenaran" ke arah
pada Yang Maha Mutlak. Kita tidak dapat lagi berlaku "solipsistik,"
(solipsisme: pandangan jika yang ada cuma diri sendiri; lainnya non-existent)
dalam berlagakma, hingga meremehkan kedatangan "lainnya" (al-akhar)
yang lain.
Perkembangan-perkembangan tehnologi komunikasi serta
transportasi kekinian memaksa satu kerangka kehidupan baru pada kita yang belum
pernah dirasakan oleh beberapa mutakallimun di jaman lampau: yakni, pertemuan
yang semakin seringkali, intens, dengan beberapa orang lain dengan kepercayaan,
memahami, ideologi, mazhab pertimbangan, kebudayaan, budaya, warna kulit yang
lain.
Jangan dilalaikan bukti ini: Kita bertemu dengan beberapa
orang lain itu untuk "masyarakat dunia" yang sama dengan. Beberapa
orang lain yang kita jumpai itu ialah manusia dengan hak-hak yang sama juga
dengan kita, bukan beberapa orang yang mempunyai posisi hukum semakin rendah
sebab mempunyai iman yang lain.
Kerangka ini jelas tidak ada di jaman classic Islam dahulu.
Multikultaralisme, yakni keadaan kehidupan dimana beberapa orang dengan
bermacam latar-belakang sama-sama bertemu, sudah ada di jaman itu. Beberapa
kota sebagai pusat imperium Islam di jaman classic mempunyai ciri-ciri yang
hampir sama juga dengan beberapa kota metropolis di jaman kekinian saat ini:
kota yang multikulural.
Bedanya cuma satu: di jaman classic, multikulturalisme
berjalan dalam masa saat ide tentang kewarga-negaraan yang sama dengan (equal
citizenship) belum diketahui. Praktik yang wajar pada jaman pra-modern (serta
ini bukan hanya berlangsung di kerajaan Islam, dan juga di kerajaan-kerajaan
lain di penjuru dunia pada jaman itu) ialah memperlakukan masyarakat satu
kerajaan berdasar afiliasi keagamaan mereka. Beberapa orang yang ikuti agama
"sah" kerajaan, akan dilihat untuk masyarakat kelas pertama. Lainnya
ialah masyarakat kelas dua. Mereka biasa dikatakan sebagai: "dzimmi".
Kita tidak dapat lagi memakai ide dzimmi ini dalam kerangka
negara kekinian. Manusia kekinian sudah masuk masa politik lainnya dimana
kesemua orang dilihat (dengan cara teoritis serta konstitusional; walau dalam
praktik dapat beda!) untuk masyarakat negara yang sama dengan, apa saja apa
yang diyakininya.
Kerangka baru berikut yang perlu kita pikirkan dalam
berteologi, berlagakma, berakidah. Mereka tidak dapat lagi kita ucap dengan
cara sembrono untuk "orang kafir" yang akan masuk neraka.
Penggambaran semacam ini, ditambah lagi bila disampaikan dengan cara terbuka di
ruang umum, akan dipandang "offensive," melukai perasaan seseorang.
Kita perlu pandangan keagamaan yang merangkul beberapa orang
yang lain kepercayaan. Tentunya dengan cara akidah, kita tidak sama dengan
mereka, serta tidak ada sepakat dalam soal yang mendasar ini. Tapi
ketidaksamaan ini tidak harus menghambat kita untuk cari beberapa titik jumpa
sejauh kemungkinan dengan mereka itu. Diskusi serta pertemuan dengan beberapa
orang lain jadi keperluan yang tidak terhindar sekarang ini. Lensa yang kita
gunakan untuk melihat mereka ini harus juga beralih.
Berikut tuntutan jaman saat ini yang tidak dapat lagi kita
acuhkan!