Rabu, 03 Juni 2020

Kita Tak Bisa Lagi Beragama secara Solipsistik



Tiap akidah tetap dirumuskan dalam jaman spesifik, dengan tantangan-tantangannya yang ciri khas. Karenanya, langkah akidah dirumuskan serta diartikulasikan harus juga dinamis, bertumbuh ikuti jaman yang terus beralih, walau content-nya berbentuk masih, tidak beralih.

Tentunya tidak semua komponen dalam akidah berbentuk "cair", beralih terus. Pokok-pokok dalam akidah pasti berbentuk masih, permanen. Akidah tauhid, keyakinan kita mengenai Tuhan yang "ahad," esa, tidak beralih sampai kapan juga.

Begitupun akidah tentang beberapa nama serta karakter-sifat Tuhan seperti diterangkan dalam Qur'an serta hadis, tidak akan beralih. Akidah tentang kenabian, serta ajaran-ajaran inti yang dibawa oleh Kanjeng Nabi, khususnya yang terkait dengan "ghaibiyyat" (beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan sesudah mati), berbentuk masih.

Yang beralih ialah langkah manusia memberi rumusan pada akidah itu; bagaimana dia diutarakan di jaman spesifik. Contoh simpel: Alasan tentang kehadiran Tuhan (wujudu-l-Lah) seperti dirumuskan oleh beberapa mutakallimun, pakar teologi Islam, di jaman classic dahulu, jelas berkaitan dengan pengetahuan mereka di jaman itu.

Beberapa komponen dalam alasan tentang kehadiran Tuhan dalam pengetahuan kalam classic dipinjam dari filsafat Yunani (contohnya mengenai kelompok "harus" serta "mumkin"). Untuk menunjukkan ada Tuhan, kita tidak perlu memakai alasan-argumen semacam ini selama-lamanya.

Alasan yang digunakan oleh ulama classic bukan sisi dari inti akidah; yang disebut akidah ialah kepercayaan mengenai ada Tuhan tersebut. Bagaimana alasan kehadiran Tuhan diatur, itu dapat beralih dari sekian waktu, sesuai perubahan pengetahuan manusia yang ada di waktu itu.

Salah satunya hal yang kurang memperoleh perhatian dalam rumusan akidah Islam classic ialah bagaimana rekanan Islam dengan agama-agama lainnya. Rumusan akidah kita tentang topik ini perlu ditingkatkan semakin jauh kembali, sebab kita hidup di di dunia yang semakin "lintas batas," borderless. Berikut kerangka yang tidak ada di waktu akidah Asy‘ariyyah dirumuskan dulu.

Sekarang ini, kita tidak dapat lagi berlagakma serta berakidah dengan meremehkan fakta jika di luar sana ada agama-agama lain yang dipercaya oleh beberapa pemeluknya untuk "jalan kebenaran" ke arah pada Yang Maha Mutlak. Kita tidak dapat lagi berlaku "solipsistik," (solipsisme: pandangan jika yang ada cuma diri sendiri; lainnya non-existent) dalam berlagakma, hingga meremehkan kedatangan "lainnya" (al-akhar) yang lain.

Perkembangan-perkembangan tehnologi komunikasi serta transportasi kekinian memaksa satu kerangka kehidupan baru pada kita yang belum pernah dirasakan oleh beberapa mutakallimun di jaman lampau: yakni, pertemuan yang semakin seringkali, intens, dengan beberapa orang lain dengan kepercayaan, memahami, ideologi, mazhab pertimbangan, kebudayaan, budaya, warna kulit yang lain.

Jangan dilalaikan bukti ini: Kita bertemu dengan beberapa orang lain itu untuk "masyarakat dunia" yang sama dengan. Beberapa orang lain yang kita jumpai itu ialah manusia dengan hak-hak yang sama juga dengan kita, bukan beberapa orang yang mempunyai posisi hukum semakin rendah sebab mempunyai iman yang lain.

Kerangka ini jelas tidak ada di jaman classic Islam dahulu. Multikultaralisme, yakni keadaan kehidupan dimana beberapa orang dengan bermacam latar-belakang sama-sama bertemu, sudah ada di jaman itu. Beberapa kota sebagai pusat imperium Islam di jaman classic mempunyai ciri-ciri yang hampir sama juga dengan beberapa kota metropolis di jaman kekinian saat ini: kota yang multikulural.

Bedanya cuma satu: di jaman classic, multikulturalisme berjalan dalam masa saat ide tentang kewarga-negaraan yang sama dengan (equal citizenship) belum diketahui. Praktik yang wajar pada jaman pra-modern (serta ini bukan hanya berlangsung di kerajaan Islam, dan juga di kerajaan-kerajaan lain di penjuru dunia pada jaman itu) ialah memperlakukan masyarakat satu kerajaan berdasar afiliasi keagamaan mereka. Beberapa orang yang ikuti agama "sah" kerajaan, akan dilihat untuk masyarakat kelas pertama. Lainnya ialah masyarakat kelas dua. Mereka biasa dikatakan sebagai: "dzimmi".

Kita tidak dapat lagi memakai ide dzimmi ini dalam kerangka negara kekinian. Manusia kekinian sudah masuk masa politik lainnya dimana kesemua orang dilihat (dengan cara teoritis serta konstitusional; walau dalam praktik dapat beda!) untuk masyarakat negara yang sama dengan, apa saja apa yang diyakininya.

Kerangka baru berikut yang perlu kita pikirkan dalam berteologi, berlagakma, berakidah. Mereka tidak dapat lagi kita ucap dengan cara sembrono untuk "orang kafir" yang akan masuk neraka. Penggambaran semacam ini, ditambah lagi bila disampaikan dengan cara terbuka di ruang umum, akan dipandang "offensive," melukai perasaan seseorang.

Kita perlu pandangan keagamaan yang merangkul beberapa orang yang lain kepercayaan. Tentunya dengan cara akidah, kita tidak sama dengan mereka, serta tidak ada sepakat dalam soal yang mendasar ini. Tapi ketidaksamaan ini tidak harus menghambat kita untuk cari beberapa titik jumpa sejauh kemungkinan dengan mereka itu. Diskusi serta pertemuan dengan beberapa orang lain jadi keperluan yang tidak terhindar sekarang ini. Lensa yang kita gunakan untuk melihat mereka ini harus juga beralih.

Berikut tuntutan jaman saat ini yang tidak dapat lagi kita acuhkan!