Rabu, 03 Juni 2020

Apakah Kita Perlu Negara?




Semenjak dulu, permasalahan politik tetap memunculkan dialog panas; seringkali menyertakan emosi yang dalam. Antara semua bagian-bagian kehidupan manusia yang bermacam, kemungkinan politiklah yang sangat penuh dengan muatan emosi.

Pemicunya bisa jadi sebab ciri-ciri politik yang terkait dengan "kehendak untuk memimpin" faksi lain; memimpin dalam memiliki bentuk yang prima: berkuasa. Supremasi ini umumnya dilembagakan dalam lembaga namanya "negara."

Tiap klaim atas kekuasaan telah pasti memunculkan kekebalan dari faksi lain. Karena manusia, dengan cara perasaanah, ingin hidup terlepas dari "supremasi" seseorang. Dalam diri manusia ada dorongan-dorongan alami mengarah "anarkisme" dalam pengertiannya yang luas—yaitu, dorongan untuk hidup "bebas" dari supremasi/kekuasaan oleh faksi lain.

Dorongan ini dengan sangat baik sempat disebutkan oleh khalifah ke-2, Umar bin Khattab, dalam pernyataan yang masyhur: "Mata ista‘badtum al-nasa wa-qad waladathum ummahatuhum ahraran"—sejak kapan kalian memperbudak beberapa orang, walau sebenarnya mereka dilahirkan untuk orang merdeka.

Merdeka ialah situasi bagus yang diharapkan oleh kesemua orang. Seandainya (satu kali lagi: seandainya!) ada situasi "bagus" dimana bisa saja manusia hidup tanpa ada kekuasaan negara, ia pasti memilihnya, daripada hidup di bawah kekuasaan negara.

Kehadiran lembaga negara dengan cara automatis akan berbuntut pada situasi tidak bagus: ada sekumpulan orang yang berkuasa, serta beberapa orang lain yang dikendalikan. "Patuh" pada kekuasaan seseorang ialah situasi yang dengan cara perasaanah tidak disenangi manusia.

Mimpi mengenai hilangnya lembaga negara ini bukanlah barang baru yang ada sesudah Karl Marx. Ini ialah utopia lama semenjak jaman Yunani, serta kita temui dalam tradisi-tradisi komune lain. Masyarakar Samin di Jawa salah satu contoh komune yang tidak "nyaman" dengan lembaga negara.

Dalam adat pertimbangan politik Islam classic, beberapa suara "pengacau" telah ada semenjak abad-abad pertama Hijriyah. Ada dua nama yang dapat disebutkan: Hisyam al-Fuwathi (w. 833) serta Abu Bakr al-Asham (w. 892), kedua-duanya pemikir Mu'tazilah yang "emoh" alias kurang senang pada instansi negara, seperti direkam dalam karya besar al-Mawardi (w. 1058), al-Ahkam al-Sulthaniyyah (salah satunya karya paling dahulu tentang teori politik Islam).

Bagaimana tempat akidah Asy‘ariyyah dalam kasus ini?

Ada seperti konsensus (ijma‘) di golongan beberapa teolog Sunni, baik Asy‘ariyyah ataulah bukan, jika negara harus ada. Arti yang digunakan dalam literatur classic Islam ialah: ‘aqdu-l-imamah, pilih seorang kepala negara. Tujuannya pasti bukan sebatas pilih kepala negara, tetapi membangun negara tersebut.

Berikut tempat sebagian besar ulama Islam. Ini, saya anggap, benar-benar alami. Untuk keperluan ringkas hidup setiap hari, dengan cara perasaanah manusia pasti pilih ada instansi negara. Tanpa ada "leviathan" namanya negara, kehidupan kemungkinan kacau.

Apa dengan begitu politik adalah sisi dari "inti doktrin" agama? Beberapa orang kemungkinan dapat tidak sama opini mengenai rumor ini. Tapi dalam interpretasi saya: politik bukan sisi dari doktrin inti Islam.

Dalam pandangan Sunni, lembaga negara dilihat sangat penting (al-Ghazali memperjelas jika agama serta kekuasaan negara ialah dua saudara kembar—tau'aman), serta karenanya mengusung kepala negara ialah "harus" dengan cara hukum agama. Meskipun begitu, ulama Sunni biasanya berpandangan jika politik bukan sisi dari inti doktrin agama (al-siyasah laisat min ashl al-din).

Dalam al-Tibr al-Masbuk, al-Ghazali memperjelas: dalam kerangka kehidupan kolektif, pada dasarnya manusia terdiri atas dua golongan—al-anbiya', beberapa nabi yang pekerjaan intinya ialah jadi penguasa atas "dunia batin" manusia, serta jadi penunjuk jalan ke arah Allah.

Kelompok ke-2 ialah al-muluk, beberapa raja-raja yang pekerjaannya ialah jadi penguasa atas "badan luar" manusia, serta menahan agar mereka tidak sama-sama melukai serta menggempur lainnya.

Dalam Ihya', al-Ghazali membagi politik pada dua tipe: siyasat al-anbiya', yakni politik beberapa nabi yang berkuasa untuk mengatur manusia baik dengan cara lahir (fisik) atau batin (hati). Yang ke-2 ialah siyasatu-l-muluk wa al-salatin, politik beberapa raja serta sultan yang cuma berkuasa mengatur dunia lahiriah manusia, yaitu faktor badan mereka.

Dengan pandangan seperti ini, beberapa ulama Sunni dengan sangat sadar mengaku ada dua "ruangan politik" yang perlu dibedakan, walau tidak dapat dipisah.

Pertama ialah ruangan lahiriah (public sphere) yang terkait dengan kemaslahatan umum. Berikut ruangan dimana lembaga negara bekerja.

Ke-2, ruangan batiniah (privat sphere) yang tersangkut hati serta jiwa manusia, serta disini beberapa nabi serta ulama berperanan besar. "Natuur" atau kepribadian politik beberapa nabi semakin terkait dengan dunia batin manusia. Politik duniawi yang terealisasi dalam instansi negara ialah hal yang karakternya sekunder dalam siyasat al-anbiya'. Politik duniawi ialah wilayahnya beberapa raja serta sultan!

Berikut yang menerangkan mengapa sebagian besar beberapa ulama di Indonesia, dan di dunia Islam lainnya, tidak sepakat pada inspirasi membangun negara Islam dengan cara resmi.

Pangkal pertimbangan teologisnya ialah seperti saya terangkan barusan: yakni ciri-ciri politik beberapa nabi yang semakin terkait sengan "siyasat al-arwah" (politik yang mengatur jiwa serta rohani manusia), bukan siyasat al-abdan (politik yang mengatur tubuh manusia) yang semakin adalah daerah beberapa raja.

Doktrin Politik Sunni yang ‘Quietist’



Walau bukan sisi dari doktrin inti dalam Islam, ulama Sunni tidak abai pada politik: mereka merangkum beberapa doktrin politik berdasar pengalaman riwayat yang mereka rasakan. Impak doktrin ini masih bertahan sampai saat ini, walau artikulasinya dalam kerangka kehidupan kekinian dapat alami sedikit modifikasi serta macam.

Pada umumnya, doktrin politik Sunni dapat dirumuskan dalam arti simpel ini: "realisme pragmatis", bukan "radikal-idealis". Apakah yang saya tujuan dengan "realisme pragmatis" ialah sikap yang diikuti, diantaranya, dengan kesediaan untuk terima "posisi quo" politik, walau itu berbentuk kekuasaan yang otoriter serta lalim.

Memberontak pada kekuasaan yang ada (dalam literatur fikih politik disebutkan: al-sulthan al-mutaghallib, penguasa yang dengan cara de facto menang serta berkuasa), dikritik dengan keras. Aksi memberontak seperti ini dikatakan sebagai: al-baghyu, serta aktornya ialah bughat, beberapa pemberontak.

Riwayat koalisi politik kekuasaan pasca-wafatnya Kanjeng Nabi pada abad-abad pertama Hijriyah tinggalkan trauma politik yang dalam buat ulama Sunni.

Belajar pengalaman dari riwayat ini, mereka sampai pada simpulan yang telah mantap: sezalim apa saja satu kekuasaan, dia lebih bagus daripada situasi "vacuum" politik yang memunculkan "fitnah" atau kericuhan. Ada seperti "unen-unen" (political wisdom) dari beberapa ulama salaf (generasi pertama Islam) jika: enam puluh tahun di bawah penguasa yang zalim serta otoriter, lebih bagus daripada satu malam saja tanpa ada penguasa.

Situasi yang sangat ditakuti oleh ulama Sunni ialah apakah yang disebutkan dengan "fitnah," yakni kericuhan politik sebab ada pemberontakan. Koalisi kekuasaan di awal-awal riwayat Islam memerlukan kekuasaan tangan-besi yang berdarah-darah.

Pemberontakan hampir ada dalam tiap faset riwayat Islam awal, serta setiap saat itu juga beberapa puluh ribu nyawa dikorbankan; darah tumpah percuma. Kekuasaan yang beringas bukan monopoli riwayat Islam; ini hampir jadi keunikan kekuasaan tradisionil di mana saja pada saat pra-modern.

Tehnik berkuasa serta beberapa alat untuk mengatur kekuasaan belum bertumbuh dengan hebat pada saat itu. Kekejaman serta kebrutalan dalam hadapi lawan-lawan politik ialah tehnik yang digunakan oleh penguasa tradisionil untuk "memberikan" rasa takut serta intimidasi pada masyarakat supaya mereka tidak mencoba menantang.

Negara kekinian tidak memerlukan kebrutalan dalam rasio yang sama yang dipraktikkan penguasa tradisionil, sebab beberapa tehnik kontrol sudah bertumbuh cepat saat ini. Ini, diantaranya, difasilitasi oleh perubahan tehnologi komunikasi, surveillance serta penyadapan yang hebat.

Pikirkan situasi berikut itu: penguasa tradisionil kemungkinan memerlukan waktu beberapa minggu, serta beberapa bulan, sebelum mengetahui jika pemberontakan berlangsung dalam suatu teritori yang jauh sekali dari pusat kerajaannya.

Negara kekinian cuma memerlukan waktu demikian detik saja untuk mengetahui pemberontakan seperti ini. Ketidaksamaan tehnik kontrol dalam kekuasaan berikut yang, saya anggap, "memaksakan" penguasa-penguasa tradisionil menggunakan tehnik penyiksaan yang beringas pada beberapa lawannya. Cuma dengan demikian mereka dapat jamin "ketundukan" rakyat.

Keadaan politik seperti berikut yang, saya anggap, menggerakkan beberapa ulama Sunni dalam babak awal riwayat Islam merangkum sikap politik yang condong "quietist," diam, taat, patuh pada penguasa, baik penguasa yang adil atau zalim. Karena pilihan lain ialah: memberontak yang malah memunculkan "fitnah" serta kericuhan yang semakin beresiko.

Dalam kerangka kekuasaan tradisionil, serta pertanda oposisi yang simpel sekalinya (bukan pemberontakan!) akan ditemui dengan penindasan yang kejam.

Kemaslahatan agama terusik waktu berjalan fitnah atau kericuhan politik: beberapa orang tidak dapat dengan aman jalankan beribadah, ngaji, cari nafkah, dan lain-lain. Keamanan, serta bukan kebebasan, ialah "komoditi politik" yang sangat bernilai dalam warga tradisionil seperti ditemui oleh ulama Sunni jaman lampau. Inspirasi kebebasan politik masih begitu jauh dari "imajinasi politik" ulama di waktu itu.

Kita tidak dapat mempersalahkan ulama Sunni pada jaman itu. Rumusan sikap politik realis-pragmatis ialah sikap yang sangat logis pada kondisi politik sama seperti yang saya deskripsikan di atas. Ini benar-benar bukan bermakna jika ulama Sunni tidak lakukan "opisisi politik". Kekebalan pada penguasa yang zalim dilaksanakan oleh beberapa ulama pada jaman itu, tapi mereka melakukan secara "aman".

Berikut yang oleh al-Ghazali dalam dikatakan sebagai "siyasat al-‘ulama'," politik beberapa ulama serta kiai. Politik bagus untuk beberapa kiai, dalam pandangan al-Ghazali, ialah al-wa‘dzu wa-l-irshad, memberi input pada penguasa yang zalim lewat "kritikan lisan": memberikan saran.

Mode politik "radikal-idealis," dengan melawan terus-terang penguasa, bukan jalan yang disenangi oleh ulama Sunni. Mereka semakin pilih jalan yang semakin bawa maslahat: terima kekuasaan yang ada, apa saja situasiya, walau dengan "nggrundel". Itu lebih bagus dibanding kericuhan yang muncul sebab aksi melawan penguasa.

Apa sikap politik semacam ini masih berkaitan saat ini? Ini akan topik perbincangan saya dalam tulisan selanjutnya.

Masih Relevankah Doktrin Politik Sunni pada Masa Ini?



Seperti saya terangkan dalam sisi awalnya, ciri inti doktrin politik Sunni ialah "realisme-pragmatis" yang diikuti oleh akseptasi yang "legawa" pada posisi quo kekuasaan, walaupun dia zalim serta otoriter.

Karena oposisi pada kekuasaan yang zalim, walau dengan cara moral-politik benar-benar asli, dapat memunculkan karena yang semakin jelek: fitnah, kericuhan politik.

Seperti saya terangkan tempo hari, kita tidak dapat mempersalahkan ulama Sunni yang merangkum doktrin yang "ingin main aman" semacam ini. Kelahiran doktrin ini berkaitan dengan corak kekuasaan tradisionil yang condong beringas, tidak terima oposisi berbentuk apa saja, serta "ketegaan" raja-raja tradisionil dahulu untuk memberi hukuman beberapa musuh politik dengan cara kejam (silakan baca Tarikh al-Tabari tentang riwayat politik yang beringas di jaman kerajaan-kerajaan Islam awal dahulu).

Penguasa tradisionil tidak punyai beberapa pilihan terkecuali jalankan politik yang kejam semacam ini, sebab cukup dengan langkah demikian mereka dapat pastikan ketaatan rakyat. Praktik "rule by fear" (berkuasa dengan memberikan ketakutan) seperti ini ialah hal yang umum pada jaman lampau.

Umumnya mode kekuasaan seperti ini akan sangat terpaksa dilakukan oleh raja-raja tradisionil saat mereka telah kehilangan kegitimasi di mata rakyat. Berikut yang berlangsung pada masa dinasti Umawiyyah pada saat awal Islam. Pada saat berikut doktrin Sunni yang "quietist," patuh pada kekuasaan itu sebelumnya dirumuskan.

Pertanyaannya: Apa doktrin ini masih berkaitan saat ini, saat kerangka politik telah beralih dengan cara keseluruhan? Apakah yang saya tujuan dengan "perkembangan kerangka" di sini yaitu timbulnya negara kekinian yang biasanya berpedoman skema politik yang demokratis.

Dalam skema semacam ini, oposisi serta kritikan pada penguasa bukan hal yang "tabu". Tidak ada "political reprisal" atau balas sakit hati politik yang kejam dari penguasa dalam negara kekinian yang demokratis pada beberapa pengkritiknya seperti di jaman dahulu.

Saya condong menjawab: jika doktrin politik Sunni ini pada umumnya masih berkaitan sampai saat ini. Dalam pandangan saya, ada banyak efek positif dari doktrin Sunni yang quietist itu dalam kehidupan kenegaraan kekinian. Diantaranya ialah hal di bawah ini.

Biasanya, ulama Sunni condong semakin fleksibel dengan cara politik serta gampang terima negara kekinian berbentuk bangsa dan negara, nation state (mode negara yang tidak sempat diketahui di waktu lampau!). Fleksibiltas ini, saya sangka, ada hubungannya dengan doktrin politik Sunni yang "realis-pragmatis" itu.

Beberapa ulama NU di Indonesia, untuk penerus resmi ideologi politik Sunni di negeri ini, untuk contoh masalah yang kongkrit, belum pernah berusaha untuk membangun negara Islam di Indonesia. Mereka tidak sepakat dengan Kartosuwirjo yang akan membangun Negara Islam Indonesia (NII) dahulu.

Ini yang menerangkan mengapa ulama serta kiai NU dengan tegas menampik inspirasi negara khilafah yang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir (HT), sebab di mata beberapa mereka, perjuangan seperti ini tidak ada perbedaannya dengan pemberontakan Kartosuwirjo dahulu. Buat mereka, memberontak pemerintah yang resmi (al-sulthan al-mutaghallib) ialah aksi bughat yang tidak dapat disahkan dalam agama—meskipun pemberontakan itu atas nama "perjuangkan Islam".

Mereka memahami benar begitu banyak pemberontakan dalam riwayat awal Islam dahulu dilaksanakan atas nama Islam, seperti pada masalah golongan Khawarij (barisan pemberontak yang ada pada saat khalifah ke-4 sesudah meninggal dunianya Kanjeng Nabi, Ali bin Abi Talib). Memberontak ya masih memberontak. Titik.

Barisan Sunni benar-benar gampang menyesuaikan dengam skema politik mana saja, meskipun skema itu dilihat "sekular" di mata beberapa golongan Islam lain (umumnya barisan yang ikuti doktrin politik "radikal-idealis").

Buat umat Sunni, lebih bagus hidup dalam skema politik yang tidak atau kurang bagus dibanding memberontak yang justru berbuntut pada "fitnah," kericuhan politik yang sangat beresiko. Adaptabilitas politik golongan Sunni seperti ini, buat saya, juga menolong koalisi demokrasi di Indonesia.

Jalan politik "radikal-idealis" sama seperti yang dilakukan oleh beberapa kelompok-kelompok politik dalam Islam, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, benar-benar tidak dapat diterima oleh sebagian besar ulama Sunni. Buat mereka, jalan radikal-idealis ini "tidak Sunni sekali." Politik seperti ini tetap memunculkan reaksi penampikan dari ulama Sunni biasanya.

Ini bukanlah bermakna jika ulama Sunni terima dengan penuh "tawakkal" pada kekuasaan yang otoriter. Beberapa ulama serta beberapa tokoh Sunni tidak enggan-segan lakukan kritikan atas penguasa.

Namun, mereka mengomentari dalam koridor doktrinal sama seperti yang digariskan oleh al-Ghazali dalam al-Tibr al-Masbuk: yakni menasehati, kritikan (dapat berbentuk kritikan keras!) pada penguasa. Berikut jalan yang oleh al-Ghazali dikatakan sebagai siyasat al-‘ulama' (politik beberapa ulama/kiai) yang meneruskan siyasat al-anbiya' (politik beberapa nabi).

Jalan berikut yang dahulu dilakukan oleh Gus Dur di waktu Orde Baru, waktu ia lakukan kritikan serta oposisi politik pada rezim Suharto waktu itu. Gus Dur jalankan "siyasat al-ulama'" ala al-Ghazali: yaitu, memberikan "saran/kritikan" pada penguasa. Tapi ya cuma hanya itu. Gus Dur tidak ingin mengambil langkah semakin jauh: lakukan "macht vorming," membuat kemampuan untuk menantang pemerintah. Itu jelas tidak Sunni sekali!

Kita Tak Bisa Lagi Beragama secara Solipsistik



Tiap akidah tetap dirumuskan dalam jaman spesifik, dengan tantangan-tantangannya yang ciri khas. Karenanya, langkah akidah dirumuskan serta diartikulasikan harus juga dinamis, bertumbuh ikuti jaman yang terus beralih, walau content-nya berbentuk masih, tidak beralih.

Tentunya tidak semua komponen dalam akidah berbentuk "cair", beralih terus. Pokok-pokok dalam akidah pasti berbentuk masih, permanen. Akidah tauhid, keyakinan kita mengenai Tuhan yang "ahad," esa, tidak beralih sampai kapan juga.

Begitupun akidah tentang beberapa nama serta karakter-sifat Tuhan seperti diterangkan dalam Qur'an serta hadis, tidak akan beralih. Akidah tentang kenabian, serta ajaran-ajaran inti yang dibawa oleh Kanjeng Nabi, khususnya yang terkait dengan "ghaibiyyat" (beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan sesudah mati), berbentuk masih.

Yang beralih ialah langkah manusia memberi rumusan pada akidah itu; bagaimana dia diutarakan di jaman spesifik. Contoh simpel: Alasan tentang kehadiran Tuhan (wujudu-l-Lah) seperti dirumuskan oleh beberapa mutakallimun, pakar teologi Islam, di jaman classic dahulu, jelas berkaitan dengan pengetahuan mereka di jaman itu.

Beberapa komponen dalam alasan tentang kehadiran Tuhan dalam pengetahuan kalam classic dipinjam dari filsafat Yunani (contohnya mengenai kelompok "harus" serta "mumkin"). Untuk menunjukkan ada Tuhan, kita tidak perlu memakai alasan-argumen semacam ini selama-lamanya.

Alasan yang digunakan oleh ulama classic bukan sisi dari inti akidah; yang disebut akidah ialah kepercayaan mengenai ada Tuhan tersebut. Bagaimana alasan kehadiran Tuhan diatur, itu dapat beralih dari sekian waktu, sesuai perubahan pengetahuan manusia yang ada di waktu itu.

Salah satunya hal yang kurang memperoleh perhatian dalam rumusan akidah Islam classic ialah bagaimana rekanan Islam dengan agama-agama lainnya. Rumusan akidah kita tentang topik ini perlu ditingkatkan semakin jauh kembali, sebab kita hidup di di dunia yang semakin "lintas batas," borderless. Berikut kerangka yang tidak ada di waktu akidah Asy‘ariyyah dirumuskan dulu.

Sekarang ini, kita tidak dapat lagi berlagakma serta berakidah dengan meremehkan fakta jika di luar sana ada agama-agama lain yang dipercaya oleh beberapa pemeluknya untuk "jalan kebenaran" ke arah pada Yang Maha Mutlak. Kita tidak dapat lagi berlaku "solipsistik," (solipsisme: pandangan jika yang ada cuma diri sendiri; lainnya non-existent) dalam berlagakma, hingga meremehkan kedatangan "lainnya" (al-akhar) yang lain.

Perkembangan-perkembangan tehnologi komunikasi serta transportasi kekinian memaksa satu kerangka kehidupan baru pada kita yang belum pernah dirasakan oleh beberapa mutakallimun di jaman lampau: yakni, pertemuan yang semakin seringkali, intens, dengan beberapa orang lain dengan kepercayaan, memahami, ideologi, mazhab pertimbangan, kebudayaan, budaya, warna kulit yang lain.

Jangan dilalaikan bukti ini: Kita bertemu dengan beberapa orang lain itu untuk "masyarakat dunia" yang sama dengan. Beberapa orang lain yang kita jumpai itu ialah manusia dengan hak-hak yang sama juga dengan kita, bukan beberapa orang yang mempunyai posisi hukum semakin rendah sebab mempunyai iman yang lain.

Kerangka ini jelas tidak ada di jaman classic Islam dahulu. Multikultaralisme, yakni keadaan kehidupan dimana beberapa orang dengan bermacam latar-belakang sama-sama bertemu, sudah ada di jaman itu. Beberapa kota sebagai pusat imperium Islam di jaman classic mempunyai ciri-ciri yang hampir sama juga dengan beberapa kota metropolis di jaman kekinian saat ini: kota yang multikulural.

Bedanya cuma satu: di jaman classic, multikulturalisme berjalan dalam masa saat ide tentang kewarga-negaraan yang sama dengan (equal citizenship) belum diketahui. Praktik yang wajar pada jaman pra-modern (serta ini bukan hanya berlangsung di kerajaan Islam, dan juga di kerajaan-kerajaan lain di penjuru dunia pada jaman itu) ialah memperlakukan masyarakat satu kerajaan berdasar afiliasi keagamaan mereka. Beberapa orang yang ikuti agama "sah" kerajaan, akan dilihat untuk masyarakat kelas pertama. Lainnya ialah masyarakat kelas dua. Mereka biasa dikatakan sebagai: "dzimmi".

Kita tidak dapat lagi memakai ide dzimmi ini dalam kerangka negara kekinian. Manusia kekinian sudah masuk masa politik lainnya dimana kesemua orang dilihat (dengan cara teoritis serta konstitusional; walau dalam praktik dapat beda!) untuk masyarakat negara yang sama dengan, apa saja apa yang diyakininya.

Kerangka baru berikut yang perlu kita pikirkan dalam berteologi, berlagakma, berakidah. Mereka tidak dapat lagi kita ucap dengan cara sembrono untuk "orang kafir" yang akan masuk neraka. Penggambaran semacam ini, ditambah lagi bila disampaikan dengan cara terbuka di ruang umum, akan dipandang "offensive," melukai perasaan seseorang.

Kita perlu pandangan keagamaan yang merangkul beberapa orang yang lain kepercayaan. Tentunya dengan cara akidah, kita tidak sama dengan mereka, serta tidak ada sepakat dalam soal yang mendasar ini. Tapi ketidaksamaan ini tidak harus menghambat kita untuk cari beberapa titik jumpa sejauh kemungkinan dengan mereka itu. Diskusi serta pertemuan dengan beberapa orang lain jadi keperluan yang tidak terhindar sekarang ini. Lensa yang kita gunakan untuk melihat mereka ini harus juga beralih.

Berikut tuntutan jaman saat ini yang tidak dapat lagi kita acuhkan!

Argumen Keberadaan Tuhan untuk ‘New Atheists’


Dawkins menjelaskan jika semua agama (termasuk juga Islam) ialah non-sense; jika ide mengenai Tuhan benar-benar tidak logis.
Semenjak Richard Dawkins mengeluarkan bukunya, God's Delusion, pada 2006, ada pergerakan baru yang dengan cara agresif mempropagandakan ateisme. Buku Dawkins itu, harus disadari, berisi beberapa alasan yang cukup kompak, serta dicatat dalam bahasa yang sangat menawan. Tapi kita tangkap disana suara kemarahan yang dalam atas agama. Mengapa? Ini keterangan saya.

Kemarahan beberapa "new atheists" seperti Dawkins itu, jika kita ingin jujur, memungkinkan dipacu oleh perubahan dalam warga Islam. Dawkins nampaknya menulis buku itu untuk tanggapan tidak langsung pada timbulnya kelompok-kelompok esensialis Islam di dunia Islam yang selanjutnya menebar ke Eropa Barat. Impak ideologi ini semakin menggila sesudah timbulnya ISIS pada 2014. Kebrutalan ISIS membikin terkejut serta geram beberapa orang di Eropa Barat. Seperti kita ketahui, kebrutalan ini bukan saja berlangsung di Irak serta Syria, tapi menebar serta meneror Eropa.

Sebenarnya, yang "shocked" sebab kebrutalan ISIS tidak saja golongan non-Muslim di Barat. Yang sangat geram, serta sampai ke tingkat "muak," malah orang Islam sendiri, karena, korban pertama serta paling beberapa dari kebrutalan ISIS sebenarnya bukan orang Barat, tetapi umat Islam. Jadi, dalam soal kemarahan atas praktik agama yang "beringas" ini, baik umat Islam serta Dawkins mempunyai persamaan: kemarahan serta kemuakan.

Yang memperbedakan ialah: Dawkins bergerak semakin jauh kembali dengan menjelaskan jika semua agama (termasuk juga Islam) ialah non-sense; jika ide mengenai Tuhan benar-benar tidak logis. Dawkins selanjutnya membuat alasan yang bertakik-takik untuk menyanggah kehadiran Tuhan. Ia coba mematahkan alasan-argumen skolastik mengenai wujudnya Tuhan, baik alasan ontologis, kosmologis, atau teleologis.

Saya tidak cukup dapat diyakinkan oleh alasan Dawkins dalam bukunya itu, walau saya menikmatinya untuk bacaan. Banyak buku yang telah dicatat untuk menyanggah balik hujjah-hujjah Dawkins, baik dari golongan Islam, Kristen, atau golongan ateis serta agnostik sendiri. Saya berasa, beberapa "alasan classic" mengenai wujudnya Tuhan tetap berkaitan sampai saat ini. Di bawah ini beberapa catatan saya mengenai tren new-atheism ini.

Pertama, seperti banyak disampaikan oleh beberapa pengkritik Dawkins, sains serta pengetahuan kealaman tidak bisa menunjukkan tidak ada atau ada ada Tuhan. Paling jauh yang dapat diraih oleh sains ialah situasi "tidak paham," apakah yang seringkali dikatakan sebagai agnostisisme.

Apakah yang disuguhi oleh data-data sains, entahlah dalam kimia, biologi, fisika, atau astronomi, hanya info mengenai bagaimana alam kerja lewat hukum-hukum spesifik. Apakah yang dilaksanakan oleh sains, paling jauh cuma ungkap "alamiah laws" yang mengendalikan kerja alam fisik ini. Sains sampai kapan saja tidak bisa menjawab pertanyaan fundamen ini: Bagaimana serta darimanakah hukum itu ada? Siapa yang "membuatnya" atau men-desain-nya?

Dasar penting sains ialah empirisme: segalanya cuma dapat disebutkan "ada" atau "tidak ada" bila dia dapat dilakukan konfirmasi oleh data serta bukti empiris. Jika suatu hal tidak mempunyai bukti yang dapat diindera (baik dengan cara langsung atau lewat instrumen pembantu), dia dengan cara automatis tidak benar dengan cara ilmiah; dalam kata lain: ia cuma "hantu" saja. Sebab Tuhan tidak dapat ditunjukkan dengan cara empiris, karena itu ia tidak ada. Simpel.

Pertanyaan yang seringkali diserahkan ialah ini: Bila sains kerja dengan cara semacam itu, bagaimana dia ia dapat sampai pada simpulan mengenai tidak ada Tuhan? Walau sebenarnya kita ketahui, Tuhan bukan entitas yang dapat ditunjukkan tidak ada atau ada ada dengan menggunakan cara itu. Karena Tuhan bukan data empiris.

Bila sains bergerak semakin jauh dengan pastikan jika Tuhan tidak ada, ia telah langkahi wilayahnya – yaitu, daerah data empiris. Seorang saintis yang "yakini" tidak ada Tuhan telah beralih dari seorang saintis jadi seorang yang memeluk "kepercayaan" spesifik. Dalam soal ini tempat ia telah sama juga dengan beberapa orang beriman. Ateisme serta teisme mempunyai posisi yang sama: saling adalah kepercayaan, bukan sains.

Ke-2: Sains menerangkan munculnya kehidupan (origin of life) lewat apakah yang dikatakan sebagai teori evolusi. Menurut teori ini, semua macam kehidupan yang ada (manusia serta binatang dengan semua spesiesnya) ada lewat proses evolusi semasa juta-an tahun. Tidak ada terlibat "tuhan" dalam proses yang berbentuk alamiah ini. Semua kehidupan lahir lewat proses perubahan serta macam yang berbentuk "acak," acak, seperti acaknya sekeping dadu yang dibuang ke papan permainan. Semua lahir sebab "chance," kebetulan saja.

Keterangan seperti ini, buat saya, benar-benar counter-intuitive, tidak logis. Dengan cara molekuler, semua makhluk hidup ialah satu "skema" yang sangat kompleks serta hebat. Dia bekerja dengan ikuti hukum spesifik yang benar-benar tidak acak. Susunan molekuler sebagai dasar makhluk hidup (dapat disebutkan DNA) ialah satu skema info yang demikian rapi.

Bayangkanlah dua contoh formasi huruf ini. Yang pertama: ysbxcd nbhv vdferacsxs. Yang ke-2: Merapi terdapat di Yogya. Dua formasi ini seperti dari sisi jumlah huruf. Tapi ada ketidaksamaan yang radikal: yang pertama ialah formasi acak yang tidak memiliki kandungan info. Yang ke-2 ialah skema info. Untuk membuat formasi yang pertama tidak diperlukan orang "pandai". Cukup lemparkan keping-keping huruf, maka ada formasi yang acak semacam itu.

Tapi formasi yang ke-2 mustahil lahir jika tidak ada seorang "penyusun huruf" yang pandai serta pahami bahasa Indonesia. Formasi ke-2 ini tidak dapat lahir lewat evolusi yang acak. Ia memerlukan "intelligence," kepandaian. Bila teori evolusi hanya menerangkan mengenai perubahan serta macam organisme atau makhluk hidup, saya dapat terima.

Tapi bila macam ini diterangkan untuk proses yang seutuhnya berjalan dengan cara acak, rasa-rasanya kok tidak logis. Sama juga dengan tidak masuk akalnya munculnya rangkaian kalimat berarti dalam contoh ke-2 di atas dengan cara acak. Anda lemparkan berapakah ribu kalipun keping huruf di papan, tidak tersusun kalimat semacam itu. Sebab rangkaian kalimat ialah info; serta info tidak lahir tanpa aktor "pandai" di baliknya. Ia tidak dapat ada dengan cara acak.

Berikut fakta mengapa saya susah terima hujjah-hujjah penyanggahan kehadiran Tuhan berdasar beberapa temuan sains kekinian sama seperti yang disampaikan beberapa new-atheists seperti Dawkins. Data-data sains sebagai dasar hujjah mereka masih kurang memberikan dukungan.

Masa Depan Agama-agama Dunia

Agama tetap akan ada, tapi beberapa pikiran yang melawan agama serta kehadiran Tuhan akan terus ada.

Manusia mempunyai kepribadian yang menarik, yakni condong "tergesa-gesa" untuk meloncat pada satu simpulan berdasar data-data yang terbatas. Pemikiran manusia mempunyai tipuan-tipuan "rasional" yang umum disebutkan dengan "fallacy". Ini kecondongan yang alami.

Untungnya, simpulan yang cepat-cepat umumnya langsung dikoreksi oleh simpulan lain, atau oleh data empiris. Dengan demikian pengetahuan manusia alami perkembangan setindak untuk setindak.

Salah satunya misalnya ialah perkiraan jika agama akan "mati" oleh pencerahan logis yang tiba dari Eropa Barat, oleh langkah memikir baru yang saintifik, oleh cara pengetahuan kekinian yang positivistik.

Sarjana-sarjana besar yang dipandang seperti pendiri sosiologi serta psikologi modern—August Comte, Herbert Spencer, Émile Durkheim, Max Weber, Karl Marx, Sigmund Freud—meramalkan jika agama akan turun, bila tidak justru hilang benar-benar dengan hadirnya warga industrial.

Teori sekularisasi yang menguasai sampai tahun 70an meramalkan: jika beberapa proses modernisasi dalam warga tradisionil akan membuat agama tertekan ke tepian.

Untuk sesaat, perkiraan ini betul, sampai waktu spesifik. Tapi perkembangan-perkembangan terakhir memperlihatkan jika agama tidak mati, tidak tertekan ke tepian, serta memperlihatkan tanda-tanda kebangkitan kembali lagi serta mulai merampas "ruangan tengah" dalam warga kekinian.

Pakar pengetahuan politik Perancis, Olivier Roy, sempat menyebutkan tanda-tanda ini untuk "la revanche du Dieu," pembalasan sakit hati oleh Tuhan. Semenjak dasawarsa 70an, berlangsung tren global yang memberikan indikasi kembalinya agama ke tengahnya warga, termasuk juga di Barat sendiri.

Lalu, bagaimana dengan hari esok agama?

Saya pasti tidak dapat meramalkan apakah yang akan berlangsung di waktu depan. Tapi bila saya diwajibkan membuat seperti perkiraan (serta mudah-mudahan saya tidak masuk ke perangkap keterburu-buruan di sini !), karena itu berikut yang dapat yang dapat saya sebutkan: jika baik teokrasi-keras maupun sekularisasi keseluruhan, tidak akan berlangsung kapan saja.

Ada dua faksi yang akan dikecewakan riwayat. Yang pertama ialah mereka yang "punya mimpi" jika dunia dapat dikalahkan seutuhnya di bawah kendali agama, serta manusia dipaksakan semuanya untuk ikuti "hukum Tuhan" seperti mereka definisikan.

Berikut mimpi yang dalam memiliki bentuk yang sangat vulgar dipunyai oleh ISIS serta simpatisannya. Mereka punya mimpi dapat memutar riwayat dunia dengan cara radikal serta menegakkan "teokrasi" yang keras seperti sempat berlangsung di waktu lampau. (Untuk catatan: teokrasi atau khilafah yang mereka pikirkan itu belum pernah berlangsung kapan saja dalam riwayat Islam, termasuk juga pada saat Kanjeng Nabi sendiri!).

Yang ke-2 ialah mereka yang punya mimpi jika dunia dapat dibikin bersih semuanya dari "metafiska tradisionil," dari agama, dari Tuhan. Dalam kata lain, dunia yang disekularisasikan in toto. Barisan sekularis-keras ini mempunyai satu deskripsi dunia bagus dimana manusia semuanya bisa menjadi "logis," melakukan tindakan atas fundamen pertimbangan-pertimbangan akal, tanpa ada menyertakan alasan yang berbentuk transendental, ilahiah.

Ke-2 "mimpi" ini, menurut saya, tidak pernah berlangsung. Ide semacam ini tetap akan stop untuk "utopia" yang tidak akan mewujud di bumi. Baik golongan yang menginginkan tegaknya teokrasi serta berkuasanya hukum Tuhan dengan cara penuh dari muka bumi, atau golongan yang inginkan bumi yang dibikin bersih semuanya dari Tuhan – kedua-duanya akan dikecewakan oleh riwayat.

Agama tetap akan ada, tapi beberapa pikiran yang melawan agama serta kehadiran Tuhan akan terus ada. Agama serta sekularisme (dalam beberapa memiliki bentuk: yang keras atau lunak) tetap akan ada, serta hidup berdampingan.

Ke-2 "modus hidup" ini, yakni modus hidup yang berketuhanan (teistik) serta modus yang sekularistik, akan ada sampai kapan saja. Malah, bila memakai langkah pandang yang "unitive" seperti saya catat dalam sisi lalu, kesetimbangan alam malah memerlukan ke-2 modus hidup ini.

Baik modus hidup yang relijius atau sekular, dalam langkah pandang ontologis atau wujudiah (bukan dengan cara teologis !), ialah sisi dari "iradah" atau kehendak Tuhan. Dengan cara teologis serta moral-etis, Tuhan jelas tidak memerintah (al-amr) manusia untuk menyanggah kehadiran-Nya. Tapi dengan cara ontologis, Tuhan "menginginkan" dunia yang didalamnya berbagai-bagai: ada yang beriman, ada yang tidak. Ke-2 tipe manusia ini mempunyai manfaatnya semasing dalam "the grand scheme of things".

Dengan pandangan semacam ini, kita, untuk manusia beriman, tak perlu resah bila ada yang menyanggah kehadiran Tuhan, serta menafikan agama. Seorang beriman yang lihat segalanya untuk aktualisasi af‘al atau aksi Tuhan, tidak akan resah dengan keragaman yang berada di dunia, termasuk juga keragaman langkah hidup.

Agama akan ada, tapi kritikan atas agama akan ada. Semasing tidak bisa menghancurkan lainnya. Riwayat dunia tidak dipastikan dengan cara "linier" oleh satu corak "keimanan" spesifik.

Gaya dan Hukum Newton


Style ialah tarikan serta dorongan pada satu benda. Benda dalam soal ini mencakup semua benda di alam semesta, mencakup beberapa benda yang mahabesar, seperti bintang-bintang, sampai ke partikel-partikel penyusun atom. Beberapa jenis style yang kerja ada beberapa jenis, bergantung tipe interaksinya.

Ada satu kotak yang terdapat di atas meja. Kotak itu diam. Jika kita dorong dengan sentakan kotak itu akan bergerak atau melaju, selanjutnya selekasnya stop. Jika meja itu kita lumuri dengan sabun cair atau oli, lalu kotak kita dorong kembali lagi, benda akan bergerak bertambah cepat serta semakin lama, sebelum dia stop kembali lagi.

Dorongan yang kita beri ialah style. Style itu membuat kotak barusan bergerak. Tetapi mengapa kotak itu selanjutnya stop bergerak? Sebab ada gesekan di antara alas kotak dengan permukaan meja. Style gesek itu menarik kotak yang sedang bergerak barusan, membuat pergerakannya melamban, lalu stop.

Jika tidak kita dorong, kotak tidak bergerak. Kotak itu diam. Berarti jika tidak ada style, benda akan diam. Tetapi sebetulnya pada kotak yang ada di atas meja bukan tidak ada style. Ada style beratnya karena tarikan gravitasi Bumi. Tetapi ada style normal, yakni style dorong ke atas yang diberi oleh permukaan meja. Style normal ini sama besar dengan style berat, tetapi bersimpangan arah. Style ialah besaran vektor. Jika ada 2 style yang kerja bersimpangan arah karena itu style bersih yang kerja ialah beda dari besar ke-2 style itu. Sebab besarnya style sama, karena itu selisihnya 0. Berarti tidak ada style bersih (resultan) yang kerja. Mengakibatkan benda tidak bergerak.

Berikut yang dirumuskan dalam Hukum Newton I. Satu benda akan diam jika tidak ada resultan style yang kerja kepadanya. Tidak itu saja, satu benda yang sedang bergerak tetap akan bergerak lurus jika tidak ada style resultan yang kerja kepadanya. Bergerak lurus itu berarti kecepatannya tidak beralih, arahnya pun tidak beralih.

Benda yang terus bergerak tanpa ada stop sedikit susah untuk kita dapatkan misalnya di seputar kita. Tetapi kotak di atas meja barusan dapat kita buat jadi contoh. Pikirkan jika meja benar-benar licin hingga tidak ada gesekan di antara kotak dengan meja. Jika kita dorong sedikit saja karena itu kotak tetap akan melaju, serta tidak stop.

Jika pada suatu benda ada resultan style maka berlangsung perkembangan kecepatan (baca: percepatan), berarti benda akan bergerak. Pemercepatan itu sesuai dengan besar style yang diberi dipisah massa benda. Semakin besar style, semakin besar percepatannya. Semakin besar massa benda semakin kecil pemercepatan benda itu, jika massa benda besar. Misalnya, jika kita dorong satu kotak yang mudah dengan satu tangan, benda itu akan bergerak cepat. Tetapi jika yang kita dorong ialah benda yang berat, pasti pergerakannya semakin lebih lamban. Situasi ini dirumuskan untuk Hukum Newton II.

Jika pada suatu benda yang sedang bergerak diberi style yang arahnya bersimpangan dengan arah pergerakan, yang berlangsung ialah perlambatan, atau pemercepatan negatif. Pemercepatan negatif kurangi kecepatan benda yang sedang bergerak. Jika kecepatan terus menyusut, satu waktu besarnya akan 0, berarti benda diam. Jika diberi style mengarah lain (tidak searah tidak juga bersimpangan) karena itu benda akan berbelok.

Itu yang berlangsung pada kotak di atas meja yang didorong barusan. Dorongan memberi pemercepatan, membuat benda bergerak, dari situasi diam jadi punyai kecepatan. Lalu waktu kotak itu bergerak melaju, kerja style gesek yang arahnya bersimpangan dengan arah gerak kotak. Waktu itu berlangsung perlambatan, sampai kecepatan jadi 0, serta benda diam.

Barusan pernah disinggung style normal, yakni style dorong permukaan meja yang dihuni oleh satu kotak bermassa. Style ini jarang-jarang diakui kehadirannya. Satu kotak besi padat yang kita letakkan di atas meja mendesak permukaan meja. Permukaan meja yang padat menantang dengan style normal ke atas. Itu yang membuat kotak itu bertahan, tidak jatuh. Coba kita tempatkan kotak itu di atas permukaan air, karena itu kotak tetap akan bergerak ke bawah, tidak bertahan di permukaan seperti waktu ditempatkan di atas meja barusan. Di permukaan air sebetulnya ada style normal yang menggerakkan ke atas, tetapi style itu loyo, semakin kecil dari style berat kotak besi. Mengakibatkan resultan style tidak 0, hingga kotak besi bergerak ke bawah, yang kita ucap terbenam

Style berat ke bawah yang diberi oleh kotak pada permukaan meja dibalas dengan style normal yang sama besar ke atas oleh permukaan meja. Hal sama berlangsung jika kita menggantung kotak itu dengan seutas tali. Tali itu akan memberi style ke atas, serta stylenya disebutkan style tegangan tali.

Style yang menantang arah style yang diberi disebutkan style reaksi. Ada style reaksi yang sama besar tetapi bersimpangan arah ini dirumuskan dalam Hukum Newton III. Contoh di atas ialah contoh untuk situasi diam. Pada kondisi bergerak, contohnya jika kita sedang ada dalam mobil dengan kecepatan spesifik, lalu mobil itu direm. Mobil direm berarti ada style mengarah belakang yang diberi, yakni style gesek yang diberi pada cakram rem. Karena pengereman ini kita tergerak ke depan. Semakin tinggi kecepatan kita semakin besar style yang dibutuhkan untuk bikin kita stop. Berarti semakin besar style yang diberi. Mengakibatkan, semakin besar juga style yang menggerakkan kita ke depan.

Untuk menahan penumpang terlempar karena pengereman tiba-tiba atau tabrakan, penumpang mobil diharuskan menggunakan sabuk keselamatan.

Berguna


"Sebagus-baik manusia ialah yang berguna buat manusia yang lain." – al-Hadis
Walau tidak pulang kampung, saat-saat selesai Hari Raya tetap membuat saya mengingat hadis di atas; hadis yang enak serta mudah dihapal (serta versus Arabnya), tetapi sering jadi hantu dalam realisasinya. Kata "mawas diri" atau muhasabah (jika ingin arti yang semakin agamawi), sebagai benar-benar terkenal di selama Ramadan sampai jauh sesudah 1 Syawal, akan menggerakkan kita mengarah yang semakin ruhaniah: amal apakah yang telah kita lakukan, dosa apa serta pada siapa yang telah kerjakan, dst. Tetapi, di saat yang sama, sebetulnya, kata itu seringkali dengan terus-terang merongrong dengan cara fisikal serta sosial: apakah yang telah kita kerjakan untuk diri kita, apakah yang telah kita kerjakan untuk keluarga, sampai (yang sangat berat) apakah yang telah kita kerjakan untuk warga. Bertepatan dengan pertanyaan basa-basi standard yang umum dilemparkan orang waktu beranjangsana, baik bagian keluarga atau semata-mata orang yang kita mengenal ("kerja dimana saat ini", "kamu kapan", "anakmu telah berapakah", "pulang naik apa", "ponakanmu kamu kasih apa", "bapak-ibu telah pada tua, waktu kamu begitu saja", "apakah yang telah kamu kerjakan untuk Muhammadiyah", dst.) memaksakan kita menanyakan apa peranan kita buat dunia di luar kita, baik yang kecil atau yang semakin besar.

Sejauh ini yang kita dengar ialah beberapa keluhan mereka yang berada di tempat atau diposisikan inferior. Mereka yang tidak berhasil dengan cara akademik, tidak sukses dengan cara finansial, kurang mulus dalam kehidupan, serta beberapa hal kurang yang lain, memang yang sangat rawan alami desakan serta paling menanggung derita dari rongrongan masalah peranan serta buat ini. Tetapi, terkadang yang disaksikan semakin superior tidak betul-betul aman, ditambah lagi bila superioritasnya itu seutuhnya cuma berada di kepala seseorang.

Saya, contohnya, yang alumnus kampus paling besar di Indonesia, sempat kerja di Jakarta, lama tinggal di Jogja, kadang-kadang menulis pada media, muka kadang-kadang muncul di koran, sebentar-sebentar didengar keluarkan buku baru, tidak banyak bicara mengenai apakah yang saya kerjakan, seringkali dipandang tetangga serta keluarga besar sembunyikan keberhasilan. Asumsi itu tentunya semakin lebih menentramkan dibandingkan didakwa tutupi ketidakberhasilan, tetapi tentunya hal tersebut bawa resiko. Dari berbasa-basi sampai dengan suara serius, beberapa orang tiba untuk pinjam uang; dari mulai jumlah yang logis sampai yang cuma dapat saya pikirkan bila saya memenangi hadiah sastra tiap bulan. Di peluang lain, orang tiba minta tolong dicarikan pekerjaan, bagus untuk dirinya atau untuk anggota keluarganya. Justru, sempat seorang tetangga jauh, yang saya mengenal nama saja, tiba pada hari Lebaran dengan bawa bermacam bungkusan, meminta pada saya untuk memuluskan kepentingan anaknya dalam suatu kampus yang belum pernah saya mengenal, sama orang yang namanya belum pernah saya dengar, dalam suatu kota yang belum pernah saya kunjungi. Tentunya hampir kesemua orang itu sedih. Tidak saja sebab saya bukan orang yang mereka pikirkan, tetapi sebab saya memang sungguh tidak mempunyai kelebihan serta kekuatan untuk membantu mereka.

Saat menulis fiksi, saya biasa membanting keinginan seseorang (pembaca), serta itu saya kerjakan secara rasa suka. Apesnya, saya ternyata melakukan di kehidupan riil, serta kesempatan ini umumnya perlu saya kerjakan secara rasa sesal. Jika saja penghasilan saya bulanan serta lumayan besar, kemungkinan saya dapat semakin bermurah hati memberi pinjaman; jika saja saya mengenal beberapa orang penting, bisa jadi saya semakin lebih gampang membantu orang; jika saja saya punyai usaha yang semakin riil, atau punyai akses pada satu-dua pebisnis, kemungkinan saya bisa menolong satu-dua famili memperoleh pekerjaannya; serta jika saja jika saja lainnya. Tetapi, bagaimana lagi, saya tidak punyai semuanya. Penghasilan saya 1/2 tahun sekali, itu juga tidak dapat dinyatakan. Pekerjaaan saya masih susah diterangkan, serta pada bagian keluarga sendiri. Jangankan mengenal beberapa orang penting atau kaya, saya serta akan menghindar bila mereka merapat.

Selanjutnya, yang dapat saya beri ialah jawaban menangkis yang standard serta terdengar kurang ajar, tetapi di saat yang sama menentramkan: "Ya, inilah penulis."

***

Harapan: Jadi manusia yang berbakti pada ke-2 orang-tua serta berbakti pada bangsa, negara, serta agama.

Demikian saya biasa isi kolom harapan, bila itu diperlukan, mulai dari SD sampai hampir lulus SMA. Serta saya percaya hal sama dilaksanakan oleh juta-an anak Indonesia yang pengetahuannya mengenai karier benar-benar terbatas, sekaligus juga yang berasa jika harapan ialah suatu hal yang asing serta absurd. Kemungkinan sebab harapan itu terdengar generik serta kekanakan, sesaat saya ketahui beberapa rekan akrab mulai mempunyai arah hidup yang benar-benar detil, seperti "jadi Pimpinan Redaksi Republika" atau "Pelatih Persebaya", di buku alumni SMA saya mengganti harapan saya: "Ingin jadi kaya segala hal". Semakin singkat sekaligus juga berkesan semakin material, tetapi jelas terdengar semakin lebih absurd.

"Bermanfaat", kecuali "berbakti", menghantui hidup saya serta umumnya anak Indonesia di generasi saya (serta mungkin saja generasi awalnya serta generasi yang semakin belakangan), serta itu bukanlah tanpa ada keterangan. Ya, ini berlangsung dengan cara universal, tetapi Indonesia punyai hal lebih dari pada lainnya. Kita dikelilingi oleh beberapa hal yang membimbing, seringkali lagi tuntut, untuk memprioritaskan sikap altruis. Tidak cuma agama, negara (melalui pendidikan) tetap menyarankan kita lakukan hal itu—dan mempersalahkan atau memberi hukuman bila tidak melakukan. Melihat kembali lagi formasi posisi dalam harapan itu, begitu teraturnya. Itu memvisualisasikan hampir segala hal. Serta karenanya ialah satu harapan template, tentunya ada yang mengajari murid-murid jenis kami untuk menuliskan.

Di waktu saya sekolah, yang masih tetap mencecap Penataran P-4 serta mata pelajaran Pendidikan Kepribadian Pancasila (PMP), pertanyaan seperti "Ikhlas berkorban adalah implikasi Pancasila ke […] serta butir ke […]" ialah suatu hal yang benar-benar dekat. Belum juga pertanyaan-pertanyaan esai yang membuat panduan keselamatan pesawat terbang (supaya memprioritaskan keselamatan diri sebelum keselamatan seseorang) jadi terdengar imoral. Pengalaman-pengalaman berikut yang membuat seseorang (dahulu guru PMP serta saat ini kemungkinan bagian keluarga kita, yang mendapatkan cerapan pendidikan/info yang sama) punyai tempat kepribadian tinggi untuk tuntut. Tetapi, yang seringkali semakin tidak tertanggungkan ialah bila tuntutan itu tiba dari diri kita.

Walau benar-benar jelek dalam pelajaran Pancasila, desakan-desakan untuk berlaku altruis itu bukanlah tidak berbekas pada saya—melengkapi hadis-hadis serta beberapa kata mutiara bahasa Arab yang gampang dihapal tetapi benar-benar susah untuk diterapkan itu. Saya hidup seperti pertapa di waktu remaja sebab mengharap itu "bermanfaat" buat ke-2 orang-tua, buat agama. Saya tidak sempat mencapai warung kopi di waktu SMA karenanya tidak saja tidak pas untuk santri, dan juga sebab boros—dan boros ialah sisi dari akhlak nista. Tidak merokok sebetulnya biasa serta mudah saja, tetapi sebab ibu saya demikian membanggakannya, karena itu saya mengglorifikasinya untuk sisi dari kesalehan.

Saat di umur kuliah, saya ingin meningkatkan ke-"bermanfaat"-an saya untuk warga yang semakin luas serta, kembali lagi, untuk agama. Saya sekian tahun tinggal di masjid, jadi muazin, kadang-kadang jadi imam salat serta naik mimbar, serta mengatur pengajian ibu-ibu. Saat selanjutnya berasa tidak berhasil, saya mengubahnya ke hal yang semakin duniawi, tetapi kurang mulianya. Kemungkinan orang-tua serta agama tidak dapat ambil manfaatnya, tetapi siapa tahu negara dan bangsa, semakin khusus lagi sastra Indonesia, dapat. Semenjak semester benar-benar awal, saya telah punyai "harapan" untuk "bersihkan nama sastra Indonesia" di golongan warga luas karena terkena "bacaan-bacaan berkualitas rendah". Jauh sebelum waktunya skripsi, saat kadang-kadang kirim cerpen ke Annida, saya telah pikirkan untuk bikin judul skripsi "Beberapa karya Freddy S. serta Mengakibatkan atas Pemahaman Jelek Warga pada Novel Indonesia". Hmm… mulia sekali, kan? Mujur, beberapa karya Kuntowijoyo yang bersahaja serta Teori Stanton yang kuno itu selamatkan saya dari jadi seorang moralis utopis sekaligus juga usaha lemparkan diri ke kobaran api.

Tetapi, tekanan itu belum selesai serta saat saya perlu luntang-lantung di Jakarta, beralih dari satu kos rekan ke kos rekan lainnya. Sedikit kekuatan menulis membuat harapan "selamatkan sastra Indonesia" itu masih menggantung di kening, walau usaha mencibir serta menyepelekan bukanlah tidak sempat saya kerjakan. Tidak berhasil keseluruhan untuk perantau di Jakarta, saya selanjutnya menyemai harapan itu dalam suatu pabrik buku pelajaran di Klaten, walau maksudnya sedikit membelok. Untuk karyawan yang dibayar untuk menulis buku pelajaran Riwayat Kebudayaan Islam, yang pertama ingin saya kerjakan ialah mengganti langkah menulis buku pelajaran riwayat yang menjemukan. Tutorial kurikulum yang bukan main jeleknya juga saya musuh. Saya banyak membaca buku riwayat Islam, dari yang babon-babon sampai yang mudah, untuk bikin buku pelajaran yang "bermanfaat" buat beberapa anak, supaya mereka nantinya jadi orang yang "bermanfaat buat nusa bangsa serta agama". Saat selanjutnya buku saya ialah buku paling anjlok penjualannya, saya serta masih mampu menghibur diri: "Bila dari beberapa ratus buku yang terjual, ada satu-dua buku yang membangkitkan satu-dua anak menjadi pembaca yang baik, pencinta riwayat yang bersungguh-sungguh, karena itu pekerjaan saya telah berhasil; buku itu telah ‘berguna'." Sebab lihat ke-"bermanfaat"-an buku/tulisan dapat benar-benar nyata sekaligus juga abstrak, dapat benar-benar detil tetapi dapat juga benar-benar luas, serta karenanya susah diukur, karena itu arah "bermanfaat" untuk buku pelajaran ini saya modifikasi sedikit saat novel pertama saya selesai. Lalu hal sama, dengan modifikasi lainnya lagi, saya kerjakan untuk novel selanjutnya lagi. Serta, ujungnya, Anda ketahui, saya tidak sempat betul-betul tahu bagaimana menghitungnya.

Kemungkinan sebab ketakterukurannya, selanjutnya saya tidak betul-betul percaya dengan yang awalnya saya yakini. Saya mulai coba menkonkretkan ke-"bermanfaat"-an itu. Bersama-sama seorang rekan, saya membuat perpustakaan di desa. Supaya "bermanfaat" bukan saja buat negara dan bangsa dan juga agama, perpustakaan itu saya simpan di masjid. Semangat kami besar sekali, tidak kurang dari beberapa aktivis literasi saat ini. Kecuali mengedarkan proposal ke banyak rekan yang saya mengenal serta penerbit yang saya dapat tembus, saya menyisihkan hal paling jelas "bermanfaat" hasil dari menulis saya: uang. Tentunya tidak banyak, sebab menulis tidak memberikan saya uang banyak, walau jika ditotal bisa jadi jauh semakin besar dari royalti novel saya yang sangat laku semasa satu tahun. (Ditambah separoh semakin buku koleksi pribadi yang saya bawa serta pulang, kemungkinan semakin besar lagi jika itu diuangkan.) Bulan-bulan awal, lihat semangat bocah-bocah yang bergabung, bermain, serta membaca, serta khususnya menanyakan, saya berasa jika apakah yang saya kerjakan mulai nampak bermanfaat (tanpa ada sinyal kutip). Tetapi cuma menanti beberapa waktu selanjutnya, sama seperti yang saya sangka, saya kembali lagi hadapi fakta jika jadi "bermanfaat" itu tidak mudah, ditambah lagi dengan tidak banyak disetujui orang—katakanlah dengan membaca. Serta di titik ini, saya perlu mengulang-ulang penghiburan lama saya, kembali lagi dengan sedikit modifikasi: "Jika ada satu atau dua anak saja sebagai pembaca yang baik, karena itu perpustakaan itu telah ‘berguna'".

Kemungkinan karenanya, saya mulai mengurangi desakan pada diri kita menjadi "bermanfaat", serta mulai lakukan beberapa hal yang tidak begitu bermanfaat. Saya ajak seseorang melihat film India segigih seorang pencinta lingkungan mengatakan pelestarian terumbu karang; saya menulis sepakbola semenggebu sekaligus juga seikhlas Yusuf Mansyur menyarankan sedekah. Selama ini, minimnya intensi untuk "bermanfaat" sangat bermanfaat. Walau masih tidak mempunyai tujuan, saya berasa hidup bertambah baikan. Kepala bertambah mudah.

Saat dalam suatu acara tonton bersama di Jombang penyair Binhad Nurrohmat menanyakan, apa arah saya menulis serta ajak tonton film India, dengan benar-benar mudah saya dapat jawab: "Untuk bersenang-senang." Selain itu, minimal, saya tidak akan mendapatkan beberapa mahasiswa Pengetahuan Keguruan kerjakan pekerjaan kuliah atau skripsi dengan mengulik pesan kepribadian serta mandat dari buku-buku saya mengenai film India serta sepakbola, seperti pada novel-novel saya.

Telah lama saya mengusahakan menghindar dari satu hadis yang berat ke hadis lain yang kemungkinan semakin mudah; dari "sebagus-baik manusia ialah yang berguna buat manusia yang lain" ke "seorang muslim ialah ia yang seseorang berasa darah serta hartanya aman darinya." Sebab saya tidak berpotensi jadi pembunuh, serta tidak punyai cukup keberanian untuk mencuri, saya berasa hadis yang paling akhir memungkinkan untuk digerakkan. Dalam kalimat lain, walau tidak begitu "bermanfaat" saya sedikit akan berasa lebih bagus bila tidak menyusahkan seseorang: pekerjaan saya tidak mencelakakan hak serta nyawa orang lain; ketetapan saya tidak menyebabkan jelek buat seseorang, dst.

"Jika kita tidak ingin menyusahkan seseorang, lalu bagaimanakah cara seseorang dapat menyusahkan kita?" tuntut seorang rekan. Serta dia terlihat benar-benar betul. Serta dia jadi makin betul saat memberikan tambahan: "Lagi juga, orang yang tidak ingin mengganggu seseorang akan dipandang mengganggu jika salah satu proses yang berlaku di masayarakat ialah sama-sama mengganggu keduanya. Itu ibarat kamu tidak turut bertepuk tangan sesaat orang seisi gedung bertempik sorak."

Dia betul. Serta saya salah. Serta tidak bermanfaat.

Terus apa? Kemungkinan saya seharusnya hidup saja, walau tidak berguna—seperti yang diserukan satu poster isolasi daerah dalam suatu kampung di Jogja, sebagai populer semasa epidemi. Itu terlihat tidak jelek. Efek paling besar paling dipandang fatalis. Jika mujur, kemungkinan kita dipandang rendah hati.

Lagi juga, di waktu ini, mati toh cuma akan memenuhi statistik saja.


Perayaan


Erling Haaland ialah seorang remaja semangat; masih muda (19 tahun), tinggi besar, pelari kencang, pirang, serta diramal akan jadi striker hebat di waktu tiba. Dia mendapatkan rumah di Sinyal Iduna Park, kandang Borussia Dortmund, salah satunya club sepakbola yang pilih langkah bermain paling semangat yang kita mengenal, dengan supporter paling semangat (serta paling ribut) yang kita ketahui. Serta akhir minggu kemarin, Haaland serta timnya hadapi Schalke, club tetangga Dortmund, yang sepanjang tahun mencipta salah satunya derbi paling hebat di sepakbola dunia, Ruhr derby.

Haaland cetak gol pertama di laga yang usai 4-0 untuk Dortmund itu, gol ke-10nya musim ini. Tetapi, kecuali langkah bermain Dortmund, semua terlihat tidak sama. Haaland dapat serta biasa membuat semua stadion bergetar bersama-sama tiap perayaan golnya, dengan raungan atau pukulan ke udara atau cengkamannnya ke seragam rekanan yang memberikannya umpan. Hari itu tidak demikian. Sesudah satu sontekan pembelok arah, gol ciri khas striker dengan peletakan tempat hebat, dia lari mengarah bendera di pojok lapangan. Di hari-hari lain dia kemungkinan melaju dengan lututnya, atau mungkin dengan dadanya, atau mengambil tiang bendera serta mengibarkannya mengarah tribun, meraung, menumpahkan adrenalinnya, serta semua rekanan segrupnya akan mengerubutinya, menimbuninya, mencium ubun-ubunnya, atau serta melekatenginya dengan gemas. Tetapi hari itu Haaland cuma berdiri dengan kikuk menghadap mengarah teman-teman segrupnya yang akan mengerumuninya, dengan seorang dari mereka memberikan aba-aba supaya jaga jarak darinya, lalu dia menari. Kaku serta malu-malu, seolah dia bocah aneh yang diminta menyanyi di muka kelas. Keceriaan itu jelas masih nampak, senyum bayinya mengembang, tetapi luapan emosi benar-benar jelas kuat-kuat ditahan.

Barney Ronay di The Guardian menyebutkan situasi yang berlangsung di Sinyal Iduna Park hari itu untuk "eerie silence", kesunyian yang menakutkan; arti yang sedikit aneh, tetapi benar-benar dapat diterima. Di stadion yang umum berisi 82 ribu orang itu, serta kesemuanya akan meraung dengan cara bertepatan saat berlangsung gol untuk tuan-rumah, hari itu cuma diisi seputar 300-an orang. Beberapa besarnya ialah pekerja stadion serta petugas laga, termasuk juga didalamnya anak gawang yang sudah dikurangi separuh dari jumlah biasa. Tidak ada pemirsa yang bisa masuk, tidak bisa berkerubung di dekat stadion. Sebagian orang yang duduk di tribun di bangku yang berjauhan ialah beberapa pemain pengganti ke-2 team, dengan selimut di kaki serta masker di muka—mungkin beberapa salah satunya berasa mereka tidak semestinya ada disana. Semua pekikan, bentrokan, keluh kesah, cacian tertangkap mikrofon di tepi lapangan serta digemakan ke semua stadion—dan didengar pemirsa di muka tv. (Itu mengapa cacian "Sana keloni nenekmu" dari bek Schalke Jean-Clair Todibo ke Haaland jadi terdengar jelas.) Yang nampak semakin aneh lagi, selesai laga, Haaland serta kawan-kawan segrupnya lakukan penghormatan mengarah tribun kosong The Yellow Wall yang populer itu.

Tentunya, hal yang berlangsung di Sinyal Iduna Park berlangsung di delapan stadion lain di Bundesliga Jerman minggu kemarin, yang kembali lagi meneruskan Liga sesudah diminta libur yang tidak direncanakan semasa dua bulan. Serta dia akan berlangsung di beberapa liga Eropa lain, yang selekasnya mengejar minimal awal Juni—kecuali yang sudah mengatakan tutup buku seperti di Prancis serta Belanda.

Beberapa orang mensyukuri kembalinya sepakbola, termasuk juga saya. Tetapi, ada beberapa faksi , serta ini cukup banyak, yang berasa jika sepakbola tanpa ada pemirsa bukan sepakbola. "Saya lebih bagus tidak bermain sepakbola bila tidak ada yang melihat. Itu tidak logis," kata Pep Guardiola baru saja ini. "Tidak ada yang semakin kosong dibandingkan satu stadion yang kosong. Tidak ada yang semakin bisu dibandingkan tribun yang tanpa ada pemirsa," catat Eduardo Galeano di bukunya yang mashur, Soccer in Sun and Shadow. Pep serta Galeano bicara di serta untuk kerangka yang lain, tetapi kedua-duanya saling mengutamakan jika stadion serta pemirsa ialah sisi yang tidak dapat diambil serta dipisah dari sepakbola.

"Kuil Beberapa Dewa yang Mencapai Bumi," demikian Christopher Thomas Gaffney memberikan judul studinya mengenai stadion-stadion di Brazil serta Argentina. Tetapi ini dapat juga dilekatkan pada sepakbola Eropa Barat yang punyai adat teras yang kuat, seperti di Inggris serta Jerman. Seperti digemakan oleh kalimat Galeano, Gaffney merasakan jika tetap ada dimensi ilahiah pada rekanan di antara stadion, pemirsa, serta pemain. Serta tv bukanlah tidak tahu itu.

Dalam langkah pandang industri tv, kedatangan pemirsa di stadion, keributan yang mereka buat, atmosfer yang diakibatkan oleh nyanyian pujian, dengusan sedih, cacian geram, tangisan kalah, ialah sisi integral dari tontonan yang mereka jual. Oleh karena itu mereka menempatkan beberapa ratus mikrofon yang menghadap ke tribun pemirsa, serta terakhir menerbangkan camera di atas stadion. Walau berbuih-buih bicara mengenai nilai-nilai sportivitas, mengakhiri pertandingan untuk sisi dari moralitas ksatria, ketetapan untuk selalu meneruskan Liga di sejumlah negara jelas didorong oleh fakta ekonomi: tim-tim perlu hidup, upah pemain serta karyawan club harus dibayar, dan—terutama—televisi tidak ingin begitu rugi.

Tetapi, tentunya, tidak saja tv kehilangan beberapa pesona jualannya. Stadion yang tanpa ada pemirsa membuat pemain di atas lapangan kehilangan pemujanya. Serta "beberapa orang yang memelototi satu tabung" (demikian Nick Hornby, novelis sekaligus juga supporter Arsenal, mencibir beberapa pemirsa tv) kehilangan sejumlah besar drama.

Serta pada umumnya, sepakbola kehilangan beberapa citarasa perayaannya.


Walau kemungkinan dipandang ofensif oleh beberapa skripturalis, yang memandang Islam (serta segala hal yang dapat dikaitkan dengannya) untuk "ya'lu wala yu'la", sesaat beberapa esoteris yang tetap punyai rincian panjang serta jelimet mengenai apa saja berkait agama kemungkinan menganggap reduksionis, saya dengan benar-benar gampang menyambungkan sepakbola serta Hari Raya. Lebih-lebih di waktu epidemi ini.

Sebelum keterhubungan itu saya terangkan, saya harus katakan jika saya bukan fans berat Hari Raya—setidaknya bila kita bicara mengenai "apa yang umum berlangsung" serta "bukan apakah yang semestinya berlangsung". Semua bocah akan menanti Hari Raya selanjutnya demikian Hari Raya usai, saya demikian. Tetapi, seingat saya, tidak kebanyakan hal hebat yang berlangsung pada saya pada hari spesial ini. Hari Raya seringkali berasa untuk acara pesta seseorang yang perlu saya turuti. Saya terkadang turut suka. Tetapi, bila tidak, saya ketahui saya cuma ikutan.

Pakaian baru, jajan serta penganan melimpah, tamu yang berduyun, jelas itu membahagiakan untuk bocah yang tumbuh di keluarga miskin seperti saya—selain tentunya jalanan yang ramai, serta satu bulan penuh puasa yang pada akhirnya selesai. Tetapi, terkadang itu tidak sebanding dengan muntaber hebat yang seringkali saya alami, minimal di umur di antara 9 hingga12, umumnya sebab keracunan makanan. Serta walau saya akan suka dibawa ke beberapa rumah lain dengan jajan yang semakin enak, atau ke sanak famili di desa yang jauh (serta umumnya semakin kaya), saya sejak dahulu sering jadi yang sangat tidak ketertarikan untuk "bersilaturrahmi". Serta, seringkali, dari malas menjadi siksaan bila ibu saya, seorang yang terkenal, dengan saudara serta rekan bersebaran dimana saja, mulai sedikit memaksakan.

Lebaran di saat-saat remaja jelas semakin berat. Bapak tidak berada di di antara kami, hingga saya dalam satu-dua hal perlu ambil peranan tradisionilnya: berkunjung ke famili yang tidak begitu saya mengenal, menyongsong tamu yang asing, atau beberapa hal seperti itu. Itu tidak membahagiakan. Bukan karena hanya saya berasa masih begitu muda untuk melakukan, dan juga sebab saya berasa telah lumayan besar untuk lakukan hal yang semestinya dilaksanakan beberapa remaja di Hari Raya.

Tidak tiap tahun berlangsung, tetapi beberapa Hari Raya paling tidak membahagiakan, sepi, terlewatkan, serta patut dilalaikan, berlangsung diakhir umur belasan serta awal 20-an. Tidak ada ke-2 orang-tua di dalam rumah, serta dalam beberapa peluang tidak ada apakah juga di dalam rumah. Telephone di wartel yang melelahkan serta tidak sebanding, tangisan serta kiriman tidak penting, serta beberapa hal tidak enak lainnya, sering memualkan serta habiskan energi serta emosi. Hari-hari Raya lain yang semakin komplet serta lebih membahagiakan terkadang tidak menyembuhkan cedera yang ditinggalkannya.

Tetapi, tentunya, semuanya tidak langsung membuat Hari Raya tidak saya kangenin. Dari sono-nya, ini ialah hari untuk senang, berbahagia; saya meyakini itu serta susah menyanggahnya. Kepulangan-kepulangan mendekati Hari Raya atau di hari-hari paling akhir Ramadan ialah kepulangan-kepulangan paling ketertarikan antara yang datar serta dilaksanakan dengan malas. Saya sudah tinggalkan kampung halaman semenjak umur 15, serta saya merasakan—hakul percaya merasakan—apa yang juta-an orang Indonesia rasakan saat mudik. Semasa berpuluh tahun, beberapa orang mempertaruhkan uang serta tenaga, serta nyawa, untuk dapat pulang jelas tidak semata-mata sebab keharusan, serta memang itu yang berlangsung. Sebelum kebahagian di Hari Raya datang, kebahagian lain (yang terkadang terasa semakin besar) ialah kembali lagi ada di kampung kelahiran. Serta kedua-duanya jelas bertalian.

Bergabung dengan keluarga besar di Hari Raya ada saatnya jadi neraka yang ada satu tahun sekali. Tetapi, tidak dimungkiri, antara itu tersisip kesenangan serta kebahagiaan yang teringat sampai sekian tahun selanjutnya. Iklan-iklan panjang dari produsen sirup serta bank serta rokok mengenai Hari Raya seringkali ngibul serta melebih-lebihkan, tetapi dalam banyak hal mereka memang betul.

Tidak ada Hari Raya yang prima. Tentu. Tetapi mengapa kita terus kangen untuk merayakannya—sebagian dengan tempuh jarak beberapa ratus kilo, kuras beberapa (besar) tabungan, tempuh beberapa efek? Kemungkinan sebab kita terus cari Hari Raya yang prima itu.

Saya belum memperolehnya—Hari Raya yang prima itu. Serta kemungkinan tidak akan memperolehnya. Tetapi, bila saya perlu alami yang sangat jelek salah satunya, dalam banyak peluang, seperti dalam banyak hal, sepakbola umumnya selamatkan saya.


Pada suatu Hari Raya, saya dibawa Bapak berkunjung ke famili jauh namanya Paman Sam. Dia seorang juragan perahu dalam suatu desa nelayan. Tempat tinggalnya besar serta perabotannya eksklusif. Satu tv besar berada di tengahnya ruangan tamunya. Di dalam rumah besar itu, untuk kali pertamanya, saya melihat tv berwarna. Kebetulan, itu ialah satu siaran secara langsung laga sepakbola. Jepang musuh Indonesia.

Laga usai jelek untuk Indonesia. Kita dihajar 5-0 oleh Jepang yang saat itu masih amatiran. Lapangan serta cuaca nampak pucat serta kuyu. Beberapa pemain Indonesia menggigil kedinginan serta alami flu, demikian pengamat TVRI memberitahukan. Ricky Yakobi serta Robby Darwis tidak henti-hentinya mengusap hidungnya yang meler. Saya tidak ingat itu tahun berapakah. (Bila video di Youtube serta data Wikipedia betul, peluang itu berlangsung pada tengah Juni 1989, dalam laga Kwalifikasi Piala Dunia 1990 Group 6.) Tetapi begitu saya dapat mengingat momen itu—mungkin salah satunya momen melihat paling jelas yang dapat saya ingat—sampai saat ini, saya ketahui itu ialah pengalaman melihat yang mengagumkan.

Walau dihitung dalam skema penanggalan tidak sama, Hari Raya hampir tidak dapat melepas diri dari sepakbola, minimal semenjak tv Indonesia menyiarkan dengan teratur beberapa liga besar Eropa. Bila Puasa jatuh bersamaan dengan musim panas Eropa, hampir dinyatakan dia akan beririsan dengan Piala Dunia atau Piala Eropa, yang diadakan (dengan cara selang-seling) 2 tahun sekali. Apabila Puasa jatuh di luar bulan di antara Mei serta Agustus, karena itu tentunya beberapa liga masih berjalan. Beberapa penceramah Tarawih pembenci sepakbola bisa jadi dengan berkobar-kobar mengutuknya untuk acara orang kafir yang menyengaja dibikin untuk bikin umat Islam lupa dari amalan-amalan penting di bulan mulia. Tetapi, itu sering jadi penawar yang cukup buat seorang bocah Jawa yang jarang-jarang mendapatkan kebahagiaan Hari Raya-nya.

Salah satunya yang sangat saya ingat serta nikmati berlangsung baru saja ini. Pada Puasa 2016, tv disesaki oleh dua kompetisi besar yang berjalan bertepatan: Piala Eropa di Prancis serta Copa America Centanario di AS. Argentina serta Messi tidak berhasil lagi, sesaat di seberang benua Cristiano Ronaldo serta Portugal menggondol juara, dua hasil yang saling tidak membahagiakan. Akan tetapi, di luar Tarawih serta tadarus saya yang menguap entahlah ke mana, itu salah satu Puasa serta Hari Raya paling baik yang sempat saya lalui. Pada hari-hari mendekati serta sesudah Hari Raya, kepala saya dipenuhi analisa serta inspirasi tulisan, karena saya harus menulis untuk Jawa Pos.

Saya sudah menulis semenjak tahun 1999. Saya punyai piala, plakat, piagam, serta medali sebab menulis fiksi. Tetapi, baru sesudah menulis sepakbolalah saya dengar tulisan saya diobrolkan orang di kios potong rambut tidak jauh dari pangkalan ojek ke arah desa saya, sesaat rekan di warung kopi menanyakan mengenai laga mendatang seolah saya ialah Bung Kusnaeni. Itu ialah kemewahan yang serta tidak sempat didapat sebab menulis novel semasa duapuluh tahun.

Saya pikirkan saya akan memerlukan paragraf-paragraf yang semakin panjang untuk mengurai masalah jalinan susah tetapi berasa intim di antara sepakbola serta Hari Raya ini. Jadi, seharusnya di sini saya catat yang semakin singkat saja: jika dalam kepala saya sepakbola serta Hari Raya sangat banyak keserupaannya—secara sosial, emosional, serta spiritual; jika, seperti sepakbola, Hari Raya dapat terus di nikmati serta dirayakan walau kita tidak percaya akan mendapatkan kemenangan; jika seperti sepakbola, Hari Raya bisa jadi ialah serangkaian dari ujian akan kesabaran serta loyalitas bukannya selalu satu pesta; jika seperti sepakbola, pada Hari Raya menempel perayaan-perayaan yang personal serta intim, di luar yang sosial serta massal.



Kecepatan dan Percepatan


Jika satu benda bergerak dari titik A ke arah titik B lewat satu trek lurus yang jaraknya 10 mtr. dalam tempo 10 detik, karena itu kita sebutkan jika benda itu bergerak sejauh 10 mtr. dalam tempo 10 detik. Jika kita jam rata, kita dapat sebutkan jika benda itu bergerak sejauh 1 mtr. semasa 1 detik. Besaran perkembangan jarak menempuh satu benda dalam tiap unit waktu semacam ini kita ucap kecepatan. Kecepatan dirumuskan dalam unit jarak per unit waktu. Satuannya dapat dipastikan dalam m/dt, km/jam, atau unit lain, sesuai dengan keperluan.

Kecepatan yang kita ulas barusan disebutkan kecepatan rerata. Kita kira semasa tempuh jarak barusan benda bergerak dengan kecepatan masih, atau kita tidak perduli pada kecepatannya pada setiap waktu. Mungkin dalam jarak spesifik kecepatannya 5 mtr. per detik, lalu di waktu lain kecepatannya 0,5 mtr. per detik. Detail itu tidak kita lihat. Kita cuma ingin tahu jarak serta waktu pintas keseluruhannya.

Jika kita ingin tahu berapakah jauh benda itu bergerak pada setiap waktu, karena itu kita harus menghitung jarak itu dalam selang waktu yang benar-benar pendek, contohnya semasa 1 detik saja. Atau, selang saatnya kita bikin semakin pendek lagi, serta kita ukur jarak yang dilakukan semasa waktu itu. Kecepatan ini disebutkan kecepatan sekejap.

Baik kecepatan rerata atau kecepatan sekejap ialah besaran penting dalam pengetahuan fisika. Kedua-duanya dipakai untuk beberapa kepentingan yang lain. Untuk pelajari dampak tumbukan di antara 2 benda, contohnya, semakin penting untuk tahu kecepatan sekejap, yakni di saat tumbukan. Sedang untuk penghitungan distribusi barang dalam pengetahuan logistik, kecepatan rerata semakin punyai arti.

Gerak benda yang bergerak lurus dengan kecepaan masih disebutkan disebut gerak lurus teratur. Jika tidak ada style yang kerja, satu benda tetap akan bergerak lurus, arahnya masih, besarnya masih. Itu yang dirumuskan dalam Hukum Newton I. Benda yang diam dapat juga disebutkan mempunyai kecepatan masih, yakni 0. Pada benda diam berlaku hukum yang sama.

Saat kita menjelaskan kecepatan, kita sedang mengulasnya untuk besaran vektor, yang punyai besar serta arah. Jika kita cuma membicaran besarnya saja, karenanya namanya bukan kecepatan, tetapi pergerakan. Pergerakan ialah nilai skalar dari besaran kecepatan.

Kecepatan bisa beralih, baik besarnya atau arahnya. Perkembangan kecepatan dalam tiap unit waktu disebutkan pemercepatan. Pemercepatan punyai arah, hingga pemercepatan besaran vektor. Jika satu benda alami bertambahnya kecepatan mengarah yang sama juga dengan arah kecepatan, karena itu gerak benda itu dipercepat. Jika arah pemercepatan ialah arah sebaliknya, karena itu benda itu diperlambat.

Pemercepatan dapat kerja mengarah mana saja. Jika pemercepatan kerja mengarah yang tidak sejajar dengan arah kecepatan, karena itu benda akan berbelok. Berbelok ialah sesuatu perkembangan kecepatan. Walau juga pergerakan benda tidak beralih, pada suatu benda yang berbelok ada pemercepatan.

Pemercepatan diakibatkan oleh style. Jika satu benda yang diam di atas meja kita dorong dengan satu style spesifik, karena itu benda itu akan bergerak melaju. Benda yang semula diam jadi bergerak, sebab ada style. Style mengubah kecepatan, dari 0 jadi tidak 0. Perkembangan kecepatan ini ialah pemercepatan. Besar pemercepatan ialah sebesar style dipisah massa benda. Untuk percepat satu benda yang besar massanya dibutuhkan style yang besar juga. Ini ialah rumusan Hukum Newton II.

Satu kali lagi, untuk percepat benda dibutuhkan style. Sumber style ini berbagai macam. Untuk percepat mobil kita menggunakan style dorong mesin yang dibuat dari style gerak karena pembakaran bensin di mesin mobil. Untuk percepat sepeda kita beri style dengan genjotan pada pedal sepeda. Untuk perlambat mobil serta sepeda kita imbuhkan style gesek lewat rem.

Banyak kepentingan yang menggunakan pemercepatan, baik dalam kehidupan setiap hari atau dalam riset. Mobil serta sepeda barusan ialah contoh dalam kehidupan setiap hari. Dalam riset fisika ada alat yang disebutkan akselerator. Sesuai dengan namanya alat ini berperan untuk meningkatkan kecepatan benda.

Salah satunya akselerator itu, dapat kita ucap terpopuler, ialah akselerator punya instansi analisa Eropa, yakni CERN. Alat ini berbentuk terowongan yang diameternya 27 km. Di akselerator partikel-partikel dipercepat dengan medan listrik atau medan magnet, berarti dikasih style, supaya makin bertambah kecepatannya. Lama-lama semakin cepat, serta kecepatannya terus ditambah, hingga jadi supercepat. Berapa cepat? Kecepatannya dekati kecepatan sinar.

Partikel-partikel itu ditabrakkan untuk lihat bagaimana mengakibatkan. Dari beberapa eksperimen itu beberapa pakar mendapatkan info mengenai sikap partikel-partikel penyusun atom.