Semenjak dulu, permasalahan politik tetap memunculkan dialog
panas; seringkali menyertakan emosi yang dalam. Antara semua bagian-bagian
kehidupan manusia yang bermacam, kemungkinan politiklah yang sangat penuh
dengan muatan emosi.
Pemicunya bisa jadi sebab ciri-ciri politik yang terkait
dengan "kehendak untuk memimpin" faksi lain; memimpin dalam memiliki
bentuk yang prima: berkuasa. Supremasi ini umumnya dilembagakan dalam lembaga
namanya "negara."
Tiap klaim atas kekuasaan telah pasti memunculkan kekebalan
dari faksi lain. Karena manusia, dengan cara perasaanah, ingin hidup terlepas
dari "supremasi" seseorang. Dalam diri manusia ada dorongan-dorongan
alami mengarah "anarkisme" dalam pengertiannya yang luas—yaitu,
dorongan untuk hidup "bebas" dari supremasi/kekuasaan oleh faksi
lain.
Dorongan ini dengan sangat baik sempat disebutkan oleh
khalifah ke-2, Umar bin Khattab, dalam pernyataan yang masyhur: "Mata
ista‘badtum al-nasa wa-qad waladathum ummahatuhum ahraran"—sejak kapan
kalian memperbudak beberapa orang, walau sebenarnya mereka dilahirkan untuk
orang merdeka.
Merdeka ialah situasi bagus yang diharapkan oleh kesemua
orang. Seandainya (satu kali lagi: seandainya!) ada situasi "bagus"
dimana bisa saja manusia hidup tanpa ada kekuasaan negara, ia pasti memilihnya,
daripada hidup di bawah kekuasaan negara.
Kehadiran lembaga negara dengan cara automatis akan
berbuntut pada situasi tidak bagus: ada sekumpulan orang yang berkuasa, serta
beberapa orang lain yang dikendalikan. "Patuh" pada kekuasaan
seseorang ialah situasi yang dengan cara perasaanah tidak disenangi manusia.
Mimpi mengenai hilangnya lembaga negara ini bukanlah barang
baru yang ada sesudah Karl Marx. Ini ialah utopia lama semenjak jaman Yunani,
serta kita temui dalam tradisi-tradisi komune lain. Masyarakar Samin di Jawa
salah satu contoh komune yang tidak "nyaman" dengan lembaga negara.
Dalam adat pertimbangan politik Islam classic, beberapa
suara "pengacau" telah ada semenjak abad-abad pertama Hijriyah. Ada
dua nama yang dapat disebutkan: Hisyam al-Fuwathi (w. 833) serta Abu Bakr
al-Asham (w. 892), kedua-duanya pemikir Mu'tazilah yang "emoh" alias
kurang senang pada instansi negara, seperti direkam dalam karya besar
al-Mawardi (w. 1058), al-Ahkam al-Sulthaniyyah (salah satunya karya paling
dahulu tentang teori politik Islam).
Bagaimana tempat akidah Asy‘ariyyah dalam kasus ini?
Ada seperti konsensus (ijma‘) di golongan beberapa teolog
Sunni, baik Asy‘ariyyah ataulah bukan, jika negara harus ada. Arti yang
digunakan dalam literatur classic Islam ialah: ‘aqdu-l-imamah, pilih seorang
kepala negara. Tujuannya pasti bukan sebatas pilih kepala negara, tetapi
membangun negara tersebut.
Berikut tempat sebagian besar ulama Islam. Ini, saya anggap,
benar-benar alami. Untuk keperluan ringkas hidup setiap hari, dengan cara
perasaanah manusia pasti pilih ada instansi negara. Tanpa ada
"leviathan" namanya negara, kehidupan kemungkinan kacau.
Apa dengan begitu politik adalah sisi dari "inti
doktrin" agama? Beberapa orang kemungkinan dapat tidak sama opini mengenai
rumor ini. Tapi dalam interpretasi saya: politik bukan sisi dari doktrin inti
Islam.
Dalam pandangan Sunni, lembaga negara dilihat sangat penting
(al-Ghazali memperjelas jika agama serta kekuasaan negara ialah dua saudara kembar—tau'aman),
serta karenanya mengusung kepala negara ialah "harus" dengan cara
hukum agama. Meskipun begitu, ulama Sunni biasanya berpandangan jika politik
bukan sisi dari inti doktrin agama (al-siyasah laisat min ashl al-din).
Dalam al-Tibr al-Masbuk, al-Ghazali memperjelas: dalam
kerangka kehidupan kolektif, pada dasarnya manusia terdiri atas dua
golongan—al-anbiya', beberapa nabi yang pekerjaan intinya ialah jadi penguasa
atas "dunia batin" manusia, serta jadi penunjuk jalan ke arah Allah.
Kelompok ke-2 ialah al-muluk, beberapa raja-raja yang
pekerjaannya ialah jadi penguasa atas "badan luar" manusia, serta
menahan agar mereka tidak sama-sama melukai serta menggempur lainnya.
Dalam Ihya', al-Ghazali membagi politik pada dua tipe:
siyasat al-anbiya', yakni politik beberapa nabi yang berkuasa untuk mengatur
manusia baik dengan cara lahir (fisik) atau batin (hati). Yang ke-2 ialah
siyasatu-l-muluk wa al-salatin, politik beberapa raja serta sultan yang cuma
berkuasa mengatur dunia lahiriah manusia, yaitu faktor badan mereka.
Dengan pandangan seperti ini, beberapa ulama Sunni dengan
sangat sadar mengaku ada dua "ruangan politik" yang perlu dibedakan,
walau tidak dapat dipisah.
Pertama ialah ruangan lahiriah (public sphere) yang terkait
dengan kemaslahatan umum. Berikut ruangan dimana lembaga negara bekerja.
Ke-2, ruangan batiniah (privat sphere) yang tersangkut hati
serta jiwa manusia, serta disini beberapa nabi serta ulama berperanan besar.
"Natuur" atau kepribadian politik beberapa nabi semakin terkait
dengan dunia batin manusia. Politik duniawi yang terealisasi dalam instansi
negara ialah hal yang karakternya sekunder dalam siyasat al-anbiya'. Politik
duniawi ialah wilayahnya beberapa raja serta sultan!
Berikut yang menerangkan mengapa sebagian besar beberapa
ulama di Indonesia, dan di dunia Islam lainnya, tidak sepakat pada inspirasi
membangun negara Islam dengan cara resmi.
Pangkal pertimbangan teologisnya ialah seperti saya terangkan
barusan: yakni ciri-ciri politik beberapa nabi yang semakin terkait sengan
"siyasat al-arwah" (politik yang mengatur jiwa serta rohani manusia),
bukan siyasat al-abdan (politik yang mengatur tubuh manusia) yang semakin
adalah daerah beberapa raja.