Rabu, 03 Juni 2020

Apakah Kita Perlu Negara?




Semenjak dulu, permasalahan politik tetap memunculkan dialog panas; seringkali menyertakan emosi yang dalam. Antara semua bagian-bagian kehidupan manusia yang bermacam, kemungkinan politiklah yang sangat penuh dengan muatan emosi.

Pemicunya bisa jadi sebab ciri-ciri politik yang terkait dengan "kehendak untuk memimpin" faksi lain; memimpin dalam memiliki bentuk yang prima: berkuasa. Supremasi ini umumnya dilembagakan dalam lembaga namanya "negara."

Tiap klaim atas kekuasaan telah pasti memunculkan kekebalan dari faksi lain. Karena manusia, dengan cara perasaanah, ingin hidup terlepas dari "supremasi" seseorang. Dalam diri manusia ada dorongan-dorongan alami mengarah "anarkisme" dalam pengertiannya yang luas—yaitu, dorongan untuk hidup "bebas" dari supremasi/kekuasaan oleh faksi lain.

Dorongan ini dengan sangat baik sempat disebutkan oleh khalifah ke-2, Umar bin Khattab, dalam pernyataan yang masyhur: "Mata ista‘badtum al-nasa wa-qad waladathum ummahatuhum ahraran"—sejak kapan kalian memperbudak beberapa orang, walau sebenarnya mereka dilahirkan untuk orang merdeka.

Merdeka ialah situasi bagus yang diharapkan oleh kesemua orang. Seandainya (satu kali lagi: seandainya!) ada situasi "bagus" dimana bisa saja manusia hidup tanpa ada kekuasaan negara, ia pasti memilihnya, daripada hidup di bawah kekuasaan negara.

Kehadiran lembaga negara dengan cara automatis akan berbuntut pada situasi tidak bagus: ada sekumpulan orang yang berkuasa, serta beberapa orang lain yang dikendalikan. "Patuh" pada kekuasaan seseorang ialah situasi yang dengan cara perasaanah tidak disenangi manusia.

Mimpi mengenai hilangnya lembaga negara ini bukanlah barang baru yang ada sesudah Karl Marx. Ini ialah utopia lama semenjak jaman Yunani, serta kita temui dalam tradisi-tradisi komune lain. Masyarakar Samin di Jawa salah satu contoh komune yang tidak "nyaman" dengan lembaga negara.

Dalam adat pertimbangan politik Islam classic, beberapa suara "pengacau" telah ada semenjak abad-abad pertama Hijriyah. Ada dua nama yang dapat disebutkan: Hisyam al-Fuwathi (w. 833) serta Abu Bakr al-Asham (w. 892), kedua-duanya pemikir Mu'tazilah yang "emoh" alias kurang senang pada instansi negara, seperti direkam dalam karya besar al-Mawardi (w. 1058), al-Ahkam al-Sulthaniyyah (salah satunya karya paling dahulu tentang teori politik Islam).

Bagaimana tempat akidah Asy‘ariyyah dalam kasus ini?

Ada seperti konsensus (ijma‘) di golongan beberapa teolog Sunni, baik Asy‘ariyyah ataulah bukan, jika negara harus ada. Arti yang digunakan dalam literatur classic Islam ialah: ‘aqdu-l-imamah, pilih seorang kepala negara. Tujuannya pasti bukan sebatas pilih kepala negara, tetapi membangun negara tersebut.

Berikut tempat sebagian besar ulama Islam. Ini, saya anggap, benar-benar alami. Untuk keperluan ringkas hidup setiap hari, dengan cara perasaanah manusia pasti pilih ada instansi negara. Tanpa ada "leviathan" namanya negara, kehidupan kemungkinan kacau.

Apa dengan begitu politik adalah sisi dari "inti doktrin" agama? Beberapa orang kemungkinan dapat tidak sama opini mengenai rumor ini. Tapi dalam interpretasi saya: politik bukan sisi dari doktrin inti Islam.

Dalam pandangan Sunni, lembaga negara dilihat sangat penting (al-Ghazali memperjelas jika agama serta kekuasaan negara ialah dua saudara kembar—tau'aman), serta karenanya mengusung kepala negara ialah "harus" dengan cara hukum agama. Meskipun begitu, ulama Sunni biasanya berpandangan jika politik bukan sisi dari inti doktrin agama (al-siyasah laisat min ashl al-din).

Dalam al-Tibr al-Masbuk, al-Ghazali memperjelas: dalam kerangka kehidupan kolektif, pada dasarnya manusia terdiri atas dua golongan—al-anbiya', beberapa nabi yang pekerjaan intinya ialah jadi penguasa atas "dunia batin" manusia, serta jadi penunjuk jalan ke arah Allah.

Kelompok ke-2 ialah al-muluk, beberapa raja-raja yang pekerjaannya ialah jadi penguasa atas "badan luar" manusia, serta menahan agar mereka tidak sama-sama melukai serta menggempur lainnya.

Dalam Ihya', al-Ghazali membagi politik pada dua tipe: siyasat al-anbiya', yakni politik beberapa nabi yang berkuasa untuk mengatur manusia baik dengan cara lahir (fisik) atau batin (hati). Yang ke-2 ialah siyasatu-l-muluk wa al-salatin, politik beberapa raja serta sultan yang cuma berkuasa mengatur dunia lahiriah manusia, yaitu faktor badan mereka.

Dengan pandangan seperti ini, beberapa ulama Sunni dengan sangat sadar mengaku ada dua "ruangan politik" yang perlu dibedakan, walau tidak dapat dipisah.

Pertama ialah ruangan lahiriah (public sphere) yang terkait dengan kemaslahatan umum. Berikut ruangan dimana lembaga negara bekerja.

Ke-2, ruangan batiniah (privat sphere) yang tersangkut hati serta jiwa manusia, serta disini beberapa nabi serta ulama berperanan besar. "Natuur" atau kepribadian politik beberapa nabi semakin terkait dengan dunia batin manusia. Politik duniawi yang terealisasi dalam instansi negara ialah hal yang karakternya sekunder dalam siyasat al-anbiya'. Politik duniawi ialah wilayahnya beberapa raja serta sultan!

Berikut yang menerangkan mengapa sebagian besar beberapa ulama di Indonesia, dan di dunia Islam lainnya, tidak sepakat pada inspirasi membangun negara Islam dengan cara resmi.

Pangkal pertimbangan teologisnya ialah seperti saya terangkan barusan: yakni ciri-ciri politik beberapa nabi yang semakin terkait sengan "siyasat al-arwah" (politik yang mengatur jiwa serta rohani manusia), bukan siyasat al-abdan (politik yang mengatur tubuh manusia) yang semakin adalah daerah beberapa raja.

Doktrin Politik Sunni yang ‘Quietist’



Walau bukan sisi dari doktrin inti dalam Islam, ulama Sunni tidak abai pada politik: mereka merangkum beberapa doktrin politik berdasar pengalaman riwayat yang mereka rasakan. Impak doktrin ini masih bertahan sampai saat ini, walau artikulasinya dalam kerangka kehidupan kekinian dapat alami sedikit modifikasi serta macam.

Pada umumnya, doktrin politik Sunni dapat dirumuskan dalam arti simpel ini: "realisme pragmatis", bukan "radikal-idealis". Apakah yang saya tujuan dengan "realisme pragmatis" ialah sikap yang diikuti, diantaranya, dengan kesediaan untuk terima "posisi quo" politik, walau itu berbentuk kekuasaan yang otoriter serta lalim.

Memberontak pada kekuasaan yang ada (dalam literatur fikih politik disebutkan: al-sulthan al-mutaghallib, penguasa yang dengan cara de facto menang serta berkuasa), dikritik dengan keras. Aksi memberontak seperti ini dikatakan sebagai: al-baghyu, serta aktornya ialah bughat, beberapa pemberontak.

Riwayat koalisi politik kekuasaan pasca-wafatnya Kanjeng Nabi pada abad-abad pertama Hijriyah tinggalkan trauma politik yang dalam buat ulama Sunni.

Belajar pengalaman dari riwayat ini, mereka sampai pada simpulan yang telah mantap: sezalim apa saja satu kekuasaan, dia lebih bagus daripada situasi "vacuum" politik yang memunculkan "fitnah" atau kericuhan. Ada seperti "unen-unen" (political wisdom) dari beberapa ulama salaf (generasi pertama Islam) jika: enam puluh tahun di bawah penguasa yang zalim serta otoriter, lebih bagus daripada satu malam saja tanpa ada penguasa.

Situasi yang sangat ditakuti oleh ulama Sunni ialah apakah yang disebutkan dengan "fitnah," yakni kericuhan politik sebab ada pemberontakan. Koalisi kekuasaan di awal-awal riwayat Islam memerlukan kekuasaan tangan-besi yang berdarah-darah.

Pemberontakan hampir ada dalam tiap faset riwayat Islam awal, serta setiap saat itu juga beberapa puluh ribu nyawa dikorbankan; darah tumpah percuma. Kekuasaan yang beringas bukan monopoli riwayat Islam; ini hampir jadi keunikan kekuasaan tradisionil di mana saja pada saat pra-modern.

Tehnik berkuasa serta beberapa alat untuk mengatur kekuasaan belum bertumbuh dengan hebat pada saat itu. Kekejaman serta kebrutalan dalam hadapi lawan-lawan politik ialah tehnik yang digunakan oleh penguasa tradisionil untuk "memberikan" rasa takut serta intimidasi pada masyarakat supaya mereka tidak mencoba menantang.

Negara kekinian tidak memerlukan kebrutalan dalam rasio yang sama yang dipraktikkan penguasa tradisionil, sebab beberapa tehnik kontrol sudah bertumbuh cepat saat ini. Ini, diantaranya, difasilitasi oleh perubahan tehnologi komunikasi, surveillance serta penyadapan yang hebat.

Pikirkan situasi berikut itu: penguasa tradisionil kemungkinan memerlukan waktu beberapa minggu, serta beberapa bulan, sebelum mengetahui jika pemberontakan berlangsung dalam suatu teritori yang jauh sekali dari pusat kerajaannya.

Negara kekinian cuma memerlukan waktu demikian detik saja untuk mengetahui pemberontakan seperti ini. Ketidaksamaan tehnik kontrol dalam kekuasaan berikut yang, saya anggap, "memaksakan" penguasa-penguasa tradisionil menggunakan tehnik penyiksaan yang beringas pada beberapa lawannya. Cuma dengan demikian mereka dapat jamin "ketundukan" rakyat.

Keadaan politik seperti berikut yang, saya anggap, menggerakkan beberapa ulama Sunni dalam babak awal riwayat Islam merangkum sikap politik yang condong "quietist," diam, taat, patuh pada penguasa, baik penguasa yang adil atau zalim. Karena pilihan lain ialah: memberontak yang malah memunculkan "fitnah" serta kericuhan yang semakin beresiko.

Dalam kerangka kekuasaan tradisionil, serta pertanda oposisi yang simpel sekalinya (bukan pemberontakan!) akan ditemui dengan penindasan yang kejam.

Kemaslahatan agama terusik waktu berjalan fitnah atau kericuhan politik: beberapa orang tidak dapat dengan aman jalankan beribadah, ngaji, cari nafkah, dan lain-lain. Keamanan, serta bukan kebebasan, ialah "komoditi politik" yang sangat bernilai dalam warga tradisionil seperti ditemui oleh ulama Sunni jaman lampau. Inspirasi kebebasan politik masih begitu jauh dari "imajinasi politik" ulama di waktu itu.

Kita tidak dapat mempersalahkan ulama Sunni pada jaman itu. Rumusan sikap politik realis-pragmatis ialah sikap yang sangat logis pada kondisi politik sama seperti yang saya deskripsikan di atas. Ini benar-benar bukan bermakna jika ulama Sunni tidak lakukan "opisisi politik". Kekebalan pada penguasa yang zalim dilaksanakan oleh beberapa ulama pada jaman itu, tapi mereka melakukan secara "aman".

Berikut yang oleh al-Ghazali dalam dikatakan sebagai "siyasat al-‘ulama'," politik beberapa ulama serta kiai. Politik bagus untuk beberapa kiai, dalam pandangan al-Ghazali, ialah al-wa‘dzu wa-l-irshad, memberi input pada penguasa yang zalim lewat "kritikan lisan": memberikan saran.

Mode politik "radikal-idealis," dengan melawan terus-terang penguasa, bukan jalan yang disenangi oleh ulama Sunni. Mereka semakin pilih jalan yang semakin bawa maslahat: terima kekuasaan yang ada, apa saja situasiya, walau dengan "nggrundel". Itu lebih bagus dibanding kericuhan yang muncul sebab aksi melawan penguasa.

Apa sikap politik semacam ini masih berkaitan saat ini? Ini akan topik perbincangan saya dalam tulisan selanjutnya.

Masih Relevankah Doktrin Politik Sunni pada Masa Ini?



Seperti saya terangkan dalam sisi awalnya, ciri inti doktrin politik Sunni ialah "realisme-pragmatis" yang diikuti oleh akseptasi yang "legawa" pada posisi quo kekuasaan, walaupun dia zalim serta otoriter.

Karena oposisi pada kekuasaan yang zalim, walau dengan cara moral-politik benar-benar asli, dapat memunculkan karena yang semakin jelek: fitnah, kericuhan politik.

Seperti saya terangkan tempo hari, kita tidak dapat mempersalahkan ulama Sunni yang merangkum doktrin yang "ingin main aman" semacam ini. Kelahiran doktrin ini berkaitan dengan corak kekuasaan tradisionil yang condong beringas, tidak terima oposisi berbentuk apa saja, serta "ketegaan" raja-raja tradisionil dahulu untuk memberi hukuman beberapa musuh politik dengan cara kejam (silakan baca Tarikh al-Tabari tentang riwayat politik yang beringas di jaman kerajaan-kerajaan Islam awal dahulu).

Penguasa tradisionil tidak punyai beberapa pilihan terkecuali jalankan politik yang kejam semacam ini, sebab cukup dengan langkah demikian mereka dapat pastikan ketaatan rakyat. Praktik "rule by fear" (berkuasa dengan memberikan ketakutan) seperti ini ialah hal yang umum pada jaman lampau.

Umumnya mode kekuasaan seperti ini akan sangat terpaksa dilakukan oleh raja-raja tradisionil saat mereka telah kehilangan kegitimasi di mata rakyat. Berikut yang berlangsung pada masa dinasti Umawiyyah pada saat awal Islam. Pada saat berikut doktrin Sunni yang "quietist," patuh pada kekuasaan itu sebelumnya dirumuskan.

Pertanyaannya: Apa doktrin ini masih berkaitan saat ini, saat kerangka politik telah beralih dengan cara keseluruhan? Apakah yang saya tujuan dengan "perkembangan kerangka" di sini yaitu timbulnya negara kekinian yang biasanya berpedoman skema politik yang demokratis.

Dalam skema semacam ini, oposisi serta kritikan pada penguasa bukan hal yang "tabu". Tidak ada "political reprisal" atau balas sakit hati politik yang kejam dari penguasa dalam negara kekinian yang demokratis pada beberapa pengkritiknya seperti di jaman dahulu.

Saya condong menjawab: jika doktrin politik Sunni ini pada umumnya masih berkaitan sampai saat ini. Dalam pandangan saya, ada banyak efek positif dari doktrin Sunni yang quietist itu dalam kehidupan kenegaraan kekinian. Diantaranya ialah hal di bawah ini.

Biasanya, ulama Sunni condong semakin fleksibel dengan cara politik serta gampang terima negara kekinian berbentuk bangsa dan negara, nation state (mode negara yang tidak sempat diketahui di waktu lampau!). Fleksibiltas ini, saya sangka, ada hubungannya dengan doktrin politik Sunni yang "realis-pragmatis" itu.

Beberapa ulama NU di Indonesia, untuk penerus resmi ideologi politik Sunni di negeri ini, untuk contoh masalah yang kongkrit, belum pernah berusaha untuk membangun negara Islam di Indonesia. Mereka tidak sepakat dengan Kartosuwirjo yang akan membangun Negara Islam Indonesia (NII) dahulu.

Ini yang menerangkan mengapa ulama serta kiai NU dengan tegas menampik inspirasi negara khilafah yang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir (HT), sebab di mata beberapa mereka, perjuangan seperti ini tidak ada perbedaannya dengan pemberontakan Kartosuwirjo dahulu. Buat mereka, memberontak pemerintah yang resmi (al-sulthan al-mutaghallib) ialah aksi bughat yang tidak dapat disahkan dalam agama—meskipun pemberontakan itu atas nama "perjuangkan Islam".

Mereka memahami benar begitu banyak pemberontakan dalam riwayat awal Islam dahulu dilaksanakan atas nama Islam, seperti pada masalah golongan Khawarij (barisan pemberontak yang ada pada saat khalifah ke-4 sesudah meninggal dunianya Kanjeng Nabi, Ali bin Abi Talib). Memberontak ya masih memberontak. Titik.

Barisan Sunni benar-benar gampang menyesuaikan dengam skema politik mana saja, meskipun skema itu dilihat "sekular" di mata beberapa golongan Islam lain (umumnya barisan yang ikuti doktrin politik "radikal-idealis").

Buat umat Sunni, lebih bagus hidup dalam skema politik yang tidak atau kurang bagus dibanding memberontak yang justru berbuntut pada "fitnah," kericuhan politik yang sangat beresiko. Adaptabilitas politik golongan Sunni seperti ini, buat saya, juga menolong koalisi demokrasi di Indonesia.

Jalan politik "radikal-idealis" sama seperti yang dilakukan oleh beberapa kelompok-kelompok politik dalam Islam, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, benar-benar tidak dapat diterima oleh sebagian besar ulama Sunni. Buat mereka, jalan radikal-idealis ini "tidak Sunni sekali." Politik seperti ini tetap memunculkan reaksi penampikan dari ulama Sunni biasanya.

Ini bukanlah bermakna jika ulama Sunni terima dengan penuh "tawakkal" pada kekuasaan yang otoriter. Beberapa ulama serta beberapa tokoh Sunni tidak enggan-segan lakukan kritikan atas penguasa.

Namun, mereka mengomentari dalam koridor doktrinal sama seperti yang digariskan oleh al-Ghazali dalam al-Tibr al-Masbuk: yakni menasehati, kritikan (dapat berbentuk kritikan keras!) pada penguasa. Berikut jalan yang oleh al-Ghazali dikatakan sebagai siyasat al-‘ulama' (politik beberapa ulama/kiai) yang meneruskan siyasat al-anbiya' (politik beberapa nabi).

Jalan berikut yang dahulu dilakukan oleh Gus Dur di waktu Orde Baru, waktu ia lakukan kritikan serta oposisi politik pada rezim Suharto waktu itu. Gus Dur jalankan "siyasat al-ulama'" ala al-Ghazali: yaitu, memberikan "saran/kritikan" pada penguasa. Tapi ya cuma hanya itu. Gus Dur tidak ingin mengambil langkah semakin jauh: lakukan "macht vorming," membuat kemampuan untuk menantang pemerintah. Itu jelas tidak Sunni sekali!

Kita Tak Bisa Lagi Beragama secara Solipsistik



Tiap akidah tetap dirumuskan dalam jaman spesifik, dengan tantangan-tantangannya yang ciri khas. Karenanya, langkah akidah dirumuskan serta diartikulasikan harus juga dinamis, bertumbuh ikuti jaman yang terus beralih, walau content-nya berbentuk masih, tidak beralih.

Tentunya tidak semua komponen dalam akidah berbentuk "cair", beralih terus. Pokok-pokok dalam akidah pasti berbentuk masih, permanen. Akidah tauhid, keyakinan kita mengenai Tuhan yang "ahad," esa, tidak beralih sampai kapan juga.

Begitupun akidah tentang beberapa nama serta karakter-sifat Tuhan seperti diterangkan dalam Qur'an serta hadis, tidak akan beralih. Akidah tentang kenabian, serta ajaran-ajaran inti yang dibawa oleh Kanjeng Nabi, khususnya yang terkait dengan "ghaibiyyat" (beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan sesudah mati), berbentuk masih.

Yang beralih ialah langkah manusia memberi rumusan pada akidah itu; bagaimana dia diutarakan di jaman spesifik. Contoh simpel: Alasan tentang kehadiran Tuhan (wujudu-l-Lah) seperti dirumuskan oleh beberapa mutakallimun, pakar teologi Islam, di jaman classic dahulu, jelas berkaitan dengan pengetahuan mereka di jaman itu.

Beberapa komponen dalam alasan tentang kehadiran Tuhan dalam pengetahuan kalam classic dipinjam dari filsafat Yunani (contohnya mengenai kelompok "harus" serta "mumkin"). Untuk menunjukkan ada Tuhan, kita tidak perlu memakai alasan-argumen semacam ini selama-lamanya.

Alasan yang digunakan oleh ulama classic bukan sisi dari inti akidah; yang disebut akidah ialah kepercayaan mengenai ada Tuhan tersebut. Bagaimana alasan kehadiran Tuhan diatur, itu dapat beralih dari sekian waktu, sesuai perubahan pengetahuan manusia yang ada di waktu itu.

Salah satunya hal yang kurang memperoleh perhatian dalam rumusan akidah Islam classic ialah bagaimana rekanan Islam dengan agama-agama lainnya. Rumusan akidah kita tentang topik ini perlu ditingkatkan semakin jauh kembali, sebab kita hidup di di dunia yang semakin "lintas batas," borderless. Berikut kerangka yang tidak ada di waktu akidah Asy‘ariyyah dirumuskan dulu.

Sekarang ini, kita tidak dapat lagi berlagakma serta berakidah dengan meremehkan fakta jika di luar sana ada agama-agama lain yang dipercaya oleh beberapa pemeluknya untuk "jalan kebenaran" ke arah pada Yang Maha Mutlak. Kita tidak dapat lagi berlaku "solipsistik," (solipsisme: pandangan jika yang ada cuma diri sendiri; lainnya non-existent) dalam berlagakma, hingga meremehkan kedatangan "lainnya" (al-akhar) yang lain.

Perkembangan-perkembangan tehnologi komunikasi serta transportasi kekinian memaksa satu kerangka kehidupan baru pada kita yang belum pernah dirasakan oleh beberapa mutakallimun di jaman lampau: yakni, pertemuan yang semakin seringkali, intens, dengan beberapa orang lain dengan kepercayaan, memahami, ideologi, mazhab pertimbangan, kebudayaan, budaya, warna kulit yang lain.

Jangan dilalaikan bukti ini: Kita bertemu dengan beberapa orang lain itu untuk "masyarakat dunia" yang sama dengan. Beberapa orang lain yang kita jumpai itu ialah manusia dengan hak-hak yang sama juga dengan kita, bukan beberapa orang yang mempunyai posisi hukum semakin rendah sebab mempunyai iman yang lain.

Kerangka ini jelas tidak ada di jaman classic Islam dahulu. Multikultaralisme, yakni keadaan kehidupan dimana beberapa orang dengan bermacam latar-belakang sama-sama bertemu, sudah ada di jaman itu. Beberapa kota sebagai pusat imperium Islam di jaman classic mempunyai ciri-ciri yang hampir sama juga dengan beberapa kota metropolis di jaman kekinian saat ini: kota yang multikulural.

Bedanya cuma satu: di jaman classic, multikulturalisme berjalan dalam masa saat ide tentang kewarga-negaraan yang sama dengan (equal citizenship) belum diketahui. Praktik yang wajar pada jaman pra-modern (serta ini bukan hanya berlangsung di kerajaan Islam, dan juga di kerajaan-kerajaan lain di penjuru dunia pada jaman itu) ialah memperlakukan masyarakat satu kerajaan berdasar afiliasi keagamaan mereka. Beberapa orang yang ikuti agama "sah" kerajaan, akan dilihat untuk masyarakat kelas pertama. Lainnya ialah masyarakat kelas dua. Mereka biasa dikatakan sebagai: "dzimmi".

Kita tidak dapat lagi memakai ide dzimmi ini dalam kerangka negara kekinian. Manusia kekinian sudah masuk masa politik lainnya dimana kesemua orang dilihat (dengan cara teoritis serta konstitusional; walau dalam praktik dapat beda!) untuk masyarakat negara yang sama dengan, apa saja apa yang diyakininya.

Kerangka baru berikut yang perlu kita pikirkan dalam berteologi, berlagakma, berakidah. Mereka tidak dapat lagi kita ucap dengan cara sembrono untuk "orang kafir" yang akan masuk neraka. Penggambaran semacam ini, ditambah lagi bila disampaikan dengan cara terbuka di ruang umum, akan dipandang "offensive," melukai perasaan seseorang.

Kita perlu pandangan keagamaan yang merangkul beberapa orang yang lain kepercayaan. Tentunya dengan cara akidah, kita tidak sama dengan mereka, serta tidak ada sepakat dalam soal yang mendasar ini. Tapi ketidaksamaan ini tidak harus menghambat kita untuk cari beberapa titik jumpa sejauh kemungkinan dengan mereka itu. Diskusi serta pertemuan dengan beberapa orang lain jadi keperluan yang tidak terhindar sekarang ini. Lensa yang kita gunakan untuk melihat mereka ini harus juga beralih.

Berikut tuntutan jaman saat ini yang tidak dapat lagi kita acuhkan!

Argumen Keberadaan Tuhan untuk ‘New Atheists’


Dawkins menjelaskan jika semua agama (termasuk juga Islam) ialah non-sense; jika ide mengenai Tuhan benar-benar tidak logis.
Semenjak Richard Dawkins mengeluarkan bukunya, God's Delusion, pada 2006, ada pergerakan baru yang dengan cara agresif mempropagandakan ateisme. Buku Dawkins itu, harus disadari, berisi beberapa alasan yang cukup kompak, serta dicatat dalam bahasa yang sangat menawan. Tapi kita tangkap disana suara kemarahan yang dalam atas agama. Mengapa? Ini keterangan saya.

Kemarahan beberapa "new atheists" seperti Dawkins itu, jika kita ingin jujur, memungkinkan dipacu oleh perubahan dalam warga Islam. Dawkins nampaknya menulis buku itu untuk tanggapan tidak langsung pada timbulnya kelompok-kelompok esensialis Islam di dunia Islam yang selanjutnya menebar ke Eropa Barat. Impak ideologi ini semakin menggila sesudah timbulnya ISIS pada 2014. Kebrutalan ISIS membikin terkejut serta geram beberapa orang di Eropa Barat. Seperti kita ketahui, kebrutalan ini bukan saja berlangsung di Irak serta Syria, tapi menebar serta meneror Eropa.

Sebenarnya, yang "shocked" sebab kebrutalan ISIS tidak saja golongan non-Muslim di Barat. Yang sangat geram, serta sampai ke tingkat "muak," malah orang Islam sendiri, karena, korban pertama serta paling beberapa dari kebrutalan ISIS sebenarnya bukan orang Barat, tetapi umat Islam. Jadi, dalam soal kemarahan atas praktik agama yang "beringas" ini, baik umat Islam serta Dawkins mempunyai persamaan: kemarahan serta kemuakan.

Yang memperbedakan ialah: Dawkins bergerak semakin jauh kembali dengan menjelaskan jika semua agama (termasuk juga Islam) ialah non-sense; jika ide mengenai Tuhan benar-benar tidak logis. Dawkins selanjutnya membuat alasan yang bertakik-takik untuk menyanggah kehadiran Tuhan. Ia coba mematahkan alasan-argumen skolastik mengenai wujudnya Tuhan, baik alasan ontologis, kosmologis, atau teleologis.

Saya tidak cukup dapat diyakinkan oleh alasan Dawkins dalam bukunya itu, walau saya menikmatinya untuk bacaan. Banyak buku yang telah dicatat untuk menyanggah balik hujjah-hujjah Dawkins, baik dari golongan Islam, Kristen, atau golongan ateis serta agnostik sendiri. Saya berasa, beberapa "alasan classic" mengenai wujudnya Tuhan tetap berkaitan sampai saat ini. Di bawah ini beberapa catatan saya mengenai tren new-atheism ini.

Pertama, seperti banyak disampaikan oleh beberapa pengkritik Dawkins, sains serta pengetahuan kealaman tidak bisa menunjukkan tidak ada atau ada ada Tuhan. Paling jauh yang dapat diraih oleh sains ialah situasi "tidak paham," apakah yang seringkali dikatakan sebagai agnostisisme.

Apakah yang disuguhi oleh data-data sains, entahlah dalam kimia, biologi, fisika, atau astronomi, hanya info mengenai bagaimana alam kerja lewat hukum-hukum spesifik. Apakah yang dilaksanakan oleh sains, paling jauh cuma ungkap "alamiah laws" yang mengendalikan kerja alam fisik ini. Sains sampai kapan saja tidak bisa menjawab pertanyaan fundamen ini: Bagaimana serta darimanakah hukum itu ada? Siapa yang "membuatnya" atau men-desain-nya?

Dasar penting sains ialah empirisme: segalanya cuma dapat disebutkan "ada" atau "tidak ada" bila dia dapat dilakukan konfirmasi oleh data serta bukti empiris. Jika suatu hal tidak mempunyai bukti yang dapat diindera (baik dengan cara langsung atau lewat instrumen pembantu), dia dengan cara automatis tidak benar dengan cara ilmiah; dalam kata lain: ia cuma "hantu" saja. Sebab Tuhan tidak dapat ditunjukkan dengan cara empiris, karena itu ia tidak ada. Simpel.

Pertanyaan yang seringkali diserahkan ialah ini: Bila sains kerja dengan cara semacam itu, bagaimana dia ia dapat sampai pada simpulan mengenai tidak ada Tuhan? Walau sebenarnya kita ketahui, Tuhan bukan entitas yang dapat ditunjukkan tidak ada atau ada ada dengan menggunakan cara itu. Karena Tuhan bukan data empiris.

Bila sains bergerak semakin jauh dengan pastikan jika Tuhan tidak ada, ia telah langkahi wilayahnya – yaitu, daerah data empiris. Seorang saintis yang "yakini" tidak ada Tuhan telah beralih dari seorang saintis jadi seorang yang memeluk "kepercayaan" spesifik. Dalam soal ini tempat ia telah sama juga dengan beberapa orang beriman. Ateisme serta teisme mempunyai posisi yang sama: saling adalah kepercayaan, bukan sains.

Ke-2: Sains menerangkan munculnya kehidupan (origin of life) lewat apakah yang dikatakan sebagai teori evolusi. Menurut teori ini, semua macam kehidupan yang ada (manusia serta binatang dengan semua spesiesnya) ada lewat proses evolusi semasa juta-an tahun. Tidak ada terlibat "tuhan" dalam proses yang berbentuk alamiah ini. Semua kehidupan lahir lewat proses perubahan serta macam yang berbentuk "acak," acak, seperti acaknya sekeping dadu yang dibuang ke papan permainan. Semua lahir sebab "chance," kebetulan saja.

Keterangan seperti ini, buat saya, benar-benar counter-intuitive, tidak logis. Dengan cara molekuler, semua makhluk hidup ialah satu "skema" yang sangat kompleks serta hebat. Dia bekerja dengan ikuti hukum spesifik yang benar-benar tidak acak. Susunan molekuler sebagai dasar makhluk hidup (dapat disebutkan DNA) ialah satu skema info yang demikian rapi.

Bayangkanlah dua contoh formasi huruf ini. Yang pertama: ysbxcd nbhv vdferacsxs. Yang ke-2: Merapi terdapat di Yogya. Dua formasi ini seperti dari sisi jumlah huruf. Tapi ada ketidaksamaan yang radikal: yang pertama ialah formasi acak yang tidak memiliki kandungan info. Yang ke-2 ialah skema info. Untuk membuat formasi yang pertama tidak diperlukan orang "pandai". Cukup lemparkan keping-keping huruf, maka ada formasi yang acak semacam itu.

Tapi formasi yang ke-2 mustahil lahir jika tidak ada seorang "penyusun huruf" yang pandai serta pahami bahasa Indonesia. Formasi ke-2 ini tidak dapat lahir lewat evolusi yang acak. Ia memerlukan "intelligence," kepandaian. Bila teori evolusi hanya menerangkan mengenai perubahan serta macam organisme atau makhluk hidup, saya dapat terima.

Tapi bila macam ini diterangkan untuk proses yang seutuhnya berjalan dengan cara acak, rasa-rasanya kok tidak logis. Sama juga dengan tidak masuk akalnya munculnya rangkaian kalimat berarti dalam contoh ke-2 di atas dengan cara acak. Anda lemparkan berapakah ribu kalipun keping huruf di papan, tidak tersusun kalimat semacam itu. Sebab rangkaian kalimat ialah info; serta info tidak lahir tanpa aktor "pandai" di baliknya. Ia tidak dapat ada dengan cara acak.

Berikut fakta mengapa saya susah terima hujjah-hujjah penyanggahan kehadiran Tuhan berdasar beberapa temuan sains kekinian sama seperti yang disampaikan beberapa new-atheists seperti Dawkins. Data-data sains sebagai dasar hujjah mereka masih kurang memberikan dukungan.

Masa Depan Agama-agama Dunia

Agama tetap akan ada, tapi beberapa pikiran yang melawan agama serta kehadiran Tuhan akan terus ada.

Manusia mempunyai kepribadian yang menarik, yakni condong "tergesa-gesa" untuk meloncat pada satu simpulan berdasar data-data yang terbatas. Pemikiran manusia mempunyai tipuan-tipuan "rasional" yang umum disebutkan dengan "fallacy". Ini kecondongan yang alami.

Untungnya, simpulan yang cepat-cepat umumnya langsung dikoreksi oleh simpulan lain, atau oleh data empiris. Dengan demikian pengetahuan manusia alami perkembangan setindak untuk setindak.

Salah satunya misalnya ialah perkiraan jika agama akan "mati" oleh pencerahan logis yang tiba dari Eropa Barat, oleh langkah memikir baru yang saintifik, oleh cara pengetahuan kekinian yang positivistik.

Sarjana-sarjana besar yang dipandang seperti pendiri sosiologi serta psikologi modern—August Comte, Herbert Spencer, Émile Durkheim, Max Weber, Karl Marx, Sigmund Freud—meramalkan jika agama akan turun, bila tidak justru hilang benar-benar dengan hadirnya warga industrial.

Teori sekularisasi yang menguasai sampai tahun 70an meramalkan: jika beberapa proses modernisasi dalam warga tradisionil akan membuat agama tertekan ke tepian.

Untuk sesaat, perkiraan ini betul, sampai waktu spesifik. Tapi perkembangan-perkembangan terakhir memperlihatkan jika agama tidak mati, tidak tertekan ke tepian, serta memperlihatkan tanda-tanda kebangkitan kembali lagi serta mulai merampas "ruangan tengah" dalam warga kekinian.

Pakar pengetahuan politik Perancis, Olivier Roy, sempat menyebutkan tanda-tanda ini untuk "la revanche du Dieu," pembalasan sakit hati oleh Tuhan. Semenjak dasawarsa 70an, berlangsung tren global yang memberikan indikasi kembalinya agama ke tengahnya warga, termasuk juga di Barat sendiri.

Lalu, bagaimana dengan hari esok agama?

Saya pasti tidak dapat meramalkan apakah yang akan berlangsung di waktu depan. Tapi bila saya diwajibkan membuat seperti perkiraan (serta mudah-mudahan saya tidak masuk ke perangkap keterburu-buruan di sini !), karena itu berikut yang dapat yang dapat saya sebutkan: jika baik teokrasi-keras maupun sekularisasi keseluruhan, tidak akan berlangsung kapan saja.

Ada dua faksi yang akan dikecewakan riwayat. Yang pertama ialah mereka yang "punya mimpi" jika dunia dapat dikalahkan seutuhnya di bawah kendali agama, serta manusia dipaksakan semuanya untuk ikuti "hukum Tuhan" seperti mereka definisikan.

Berikut mimpi yang dalam memiliki bentuk yang sangat vulgar dipunyai oleh ISIS serta simpatisannya. Mereka punya mimpi dapat memutar riwayat dunia dengan cara radikal serta menegakkan "teokrasi" yang keras seperti sempat berlangsung di waktu lampau. (Untuk catatan: teokrasi atau khilafah yang mereka pikirkan itu belum pernah berlangsung kapan saja dalam riwayat Islam, termasuk juga pada saat Kanjeng Nabi sendiri!).

Yang ke-2 ialah mereka yang punya mimpi jika dunia dapat dibikin bersih semuanya dari "metafiska tradisionil," dari agama, dari Tuhan. Dalam kata lain, dunia yang disekularisasikan in toto. Barisan sekularis-keras ini mempunyai satu deskripsi dunia bagus dimana manusia semuanya bisa menjadi "logis," melakukan tindakan atas fundamen pertimbangan-pertimbangan akal, tanpa ada menyertakan alasan yang berbentuk transendental, ilahiah.

Ke-2 "mimpi" ini, menurut saya, tidak pernah berlangsung. Ide semacam ini tetap akan stop untuk "utopia" yang tidak akan mewujud di bumi. Baik golongan yang menginginkan tegaknya teokrasi serta berkuasanya hukum Tuhan dengan cara penuh dari muka bumi, atau golongan yang inginkan bumi yang dibikin bersih semuanya dari Tuhan – kedua-duanya akan dikecewakan oleh riwayat.

Agama tetap akan ada, tapi beberapa pikiran yang melawan agama serta kehadiran Tuhan akan terus ada. Agama serta sekularisme (dalam beberapa memiliki bentuk: yang keras atau lunak) tetap akan ada, serta hidup berdampingan.

Ke-2 "modus hidup" ini, yakni modus hidup yang berketuhanan (teistik) serta modus yang sekularistik, akan ada sampai kapan saja. Malah, bila memakai langkah pandang yang "unitive" seperti saya catat dalam sisi lalu, kesetimbangan alam malah memerlukan ke-2 modus hidup ini.

Baik modus hidup yang relijius atau sekular, dalam langkah pandang ontologis atau wujudiah (bukan dengan cara teologis !), ialah sisi dari "iradah" atau kehendak Tuhan. Dengan cara teologis serta moral-etis, Tuhan jelas tidak memerintah (al-amr) manusia untuk menyanggah kehadiran-Nya. Tapi dengan cara ontologis, Tuhan "menginginkan" dunia yang didalamnya berbagai-bagai: ada yang beriman, ada yang tidak. Ke-2 tipe manusia ini mempunyai manfaatnya semasing dalam "the grand scheme of things".

Dengan pandangan semacam ini, kita, untuk manusia beriman, tak perlu resah bila ada yang menyanggah kehadiran Tuhan, serta menafikan agama. Seorang beriman yang lihat segalanya untuk aktualisasi af‘al atau aksi Tuhan, tidak akan resah dengan keragaman yang berada di dunia, termasuk juga keragaman langkah hidup.

Agama akan ada, tapi kritikan atas agama akan ada. Semasing tidak bisa menghancurkan lainnya. Riwayat dunia tidak dipastikan dengan cara "linier" oleh satu corak "keimanan" spesifik.

Gaya dan Hukum Newton


Style ialah tarikan serta dorongan pada satu benda. Benda dalam soal ini mencakup semua benda di alam semesta, mencakup beberapa benda yang mahabesar, seperti bintang-bintang, sampai ke partikel-partikel penyusun atom. Beberapa jenis style yang kerja ada beberapa jenis, bergantung tipe interaksinya.

Ada satu kotak yang terdapat di atas meja. Kotak itu diam. Jika kita dorong dengan sentakan kotak itu akan bergerak atau melaju, selanjutnya selekasnya stop. Jika meja itu kita lumuri dengan sabun cair atau oli, lalu kotak kita dorong kembali lagi, benda akan bergerak bertambah cepat serta semakin lama, sebelum dia stop kembali lagi.

Dorongan yang kita beri ialah style. Style itu membuat kotak barusan bergerak. Tetapi mengapa kotak itu selanjutnya stop bergerak? Sebab ada gesekan di antara alas kotak dengan permukaan meja. Style gesek itu menarik kotak yang sedang bergerak barusan, membuat pergerakannya melamban, lalu stop.

Jika tidak kita dorong, kotak tidak bergerak. Kotak itu diam. Berarti jika tidak ada style, benda akan diam. Tetapi sebetulnya pada kotak yang ada di atas meja bukan tidak ada style. Ada style beratnya karena tarikan gravitasi Bumi. Tetapi ada style normal, yakni style dorong ke atas yang diberi oleh permukaan meja. Style normal ini sama besar dengan style berat, tetapi bersimpangan arah. Style ialah besaran vektor. Jika ada 2 style yang kerja bersimpangan arah karena itu style bersih yang kerja ialah beda dari besar ke-2 style itu. Sebab besarnya style sama, karena itu selisihnya 0. Berarti tidak ada style bersih (resultan) yang kerja. Mengakibatkan benda tidak bergerak.

Berikut yang dirumuskan dalam Hukum Newton I. Satu benda akan diam jika tidak ada resultan style yang kerja kepadanya. Tidak itu saja, satu benda yang sedang bergerak tetap akan bergerak lurus jika tidak ada style resultan yang kerja kepadanya. Bergerak lurus itu berarti kecepatannya tidak beralih, arahnya pun tidak beralih.

Benda yang terus bergerak tanpa ada stop sedikit susah untuk kita dapatkan misalnya di seputar kita. Tetapi kotak di atas meja barusan dapat kita buat jadi contoh. Pikirkan jika meja benar-benar licin hingga tidak ada gesekan di antara kotak dengan meja. Jika kita dorong sedikit saja karena itu kotak tetap akan melaju, serta tidak stop.

Jika pada suatu benda ada resultan style maka berlangsung perkembangan kecepatan (baca: percepatan), berarti benda akan bergerak. Pemercepatan itu sesuai dengan besar style yang diberi dipisah massa benda. Semakin besar style, semakin besar percepatannya. Semakin besar massa benda semakin kecil pemercepatan benda itu, jika massa benda besar. Misalnya, jika kita dorong satu kotak yang mudah dengan satu tangan, benda itu akan bergerak cepat. Tetapi jika yang kita dorong ialah benda yang berat, pasti pergerakannya semakin lebih lamban. Situasi ini dirumuskan untuk Hukum Newton II.

Jika pada suatu benda yang sedang bergerak diberi style yang arahnya bersimpangan dengan arah pergerakan, yang berlangsung ialah perlambatan, atau pemercepatan negatif. Pemercepatan negatif kurangi kecepatan benda yang sedang bergerak. Jika kecepatan terus menyusut, satu waktu besarnya akan 0, berarti benda diam. Jika diberi style mengarah lain (tidak searah tidak juga bersimpangan) karena itu benda akan berbelok.

Itu yang berlangsung pada kotak di atas meja yang didorong barusan. Dorongan memberi pemercepatan, membuat benda bergerak, dari situasi diam jadi punyai kecepatan. Lalu waktu kotak itu bergerak melaju, kerja style gesek yang arahnya bersimpangan dengan arah gerak kotak. Waktu itu berlangsung perlambatan, sampai kecepatan jadi 0, serta benda diam.

Barusan pernah disinggung style normal, yakni style dorong permukaan meja yang dihuni oleh satu kotak bermassa. Style ini jarang-jarang diakui kehadirannya. Satu kotak besi padat yang kita letakkan di atas meja mendesak permukaan meja. Permukaan meja yang padat menantang dengan style normal ke atas. Itu yang membuat kotak itu bertahan, tidak jatuh. Coba kita tempatkan kotak itu di atas permukaan air, karena itu kotak tetap akan bergerak ke bawah, tidak bertahan di permukaan seperti waktu ditempatkan di atas meja barusan. Di permukaan air sebetulnya ada style normal yang menggerakkan ke atas, tetapi style itu loyo, semakin kecil dari style berat kotak besi. Mengakibatkan resultan style tidak 0, hingga kotak besi bergerak ke bawah, yang kita ucap terbenam

Style berat ke bawah yang diberi oleh kotak pada permukaan meja dibalas dengan style normal yang sama besar ke atas oleh permukaan meja. Hal sama berlangsung jika kita menggantung kotak itu dengan seutas tali. Tali itu akan memberi style ke atas, serta stylenya disebutkan style tegangan tali.

Style yang menantang arah style yang diberi disebutkan style reaksi. Ada style reaksi yang sama besar tetapi bersimpangan arah ini dirumuskan dalam Hukum Newton III. Contoh di atas ialah contoh untuk situasi diam. Pada kondisi bergerak, contohnya jika kita sedang ada dalam mobil dengan kecepatan spesifik, lalu mobil itu direm. Mobil direm berarti ada style mengarah belakang yang diberi, yakni style gesek yang diberi pada cakram rem. Karena pengereman ini kita tergerak ke depan. Semakin tinggi kecepatan kita semakin besar style yang dibutuhkan untuk bikin kita stop. Berarti semakin besar style yang diberi. Mengakibatkan, semakin besar juga style yang menggerakkan kita ke depan.

Untuk menahan penumpang terlempar karena pengereman tiba-tiba atau tabrakan, penumpang mobil diharuskan menggunakan sabuk keselamatan.